
Seluas 8,3 juta hektar kawasan hutan telah dijadikan sebagai perhutanan sosial yang diharapkan bisa mendukung program swasembada pangan. Melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan RI ini, sebagian area hutan bisa dikembangkan sebagai kawasan agroforestri sehingga masyarakat dapat memanfaatkan hutan dengan menanam jagung, padi, maupun produk pangan lain.
Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. San Afri Awang, menegaskan bahwa agroforestri sendiri bukan suatu ide baru karena di Jawa sudah dimulai dari tahun 1972 dan dikenal dengan istilah wanatani. “Dari dulu juga model itu sudah bisa membuat daya tahan masyarakat untuk makan,” ujarnya, Jumat (17/10).
Meski begitu, menurut San Afri, hutan yang digunakan untuk penerapan agroforestri sebaiknya hutan yang memang sudah rusak atau hutan produksi yang tidak produktif. “Hutan-hutan tidak produktif lalu kita buat produktif lagi, berarti kita tanam. Boleh rakyat menanam, tetapi menanam pohon-pohonan, buah-buahan, dicampur saja. Bahkan, tanaman rumput juga boleh. Di antara pohon-pohon, jarak tanamnya dilebarkan sehingga ada ruang untuk tanaman pangan, tanaman rumput, dan ternak untuk kandangnya,” jelasnya.
Ia menambahkan, agroforestri memiliki syarat, yaitu pertama, terdapat penduduk yang dapat mengelola dan mengerjakan. Kedua, banyak tanah yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk sehingga di pulau Jawa paling efektif untuk memberlakukan skema agroforestri. “Pangan ini memang dari segi ekologi tidak optimal, tetapi dari segi pemecahan masalah kemiskinan bagus. Tidak ada istilah agroforestri tanpa ada orang, tanpa ada rakyat,” tuturnya.
Bagi San Afri, agroforestri harus mampu mengentaskan kemiskinan sehingga Awang merasa bahwa pemerintah harus spesifik terkait dengan lokasi hutan dan peran-peran orang yang mengelola agroforestri. “Ya harus ada petaninya dulu, ada izin perhutanan sosialnya dulu,” katanya.
Ketika membicarakan hutan dan pangan, San Afri, pemerintah harus menjamin kualitas hutannya, vegetasinya harus bagus, serta memiliki prospek ke depan yang baik dari nilai ekonomi dan nilai lingkungan. Ia juga mengingatkan terkait dari segi perizinan untuk petani yang nantinya juga bertanggung jawab dalam proses agroforestri. “Mereka harus mengetahui apa yang ingin ditanam,” imbuhnya.
San Afri menilai, program perhutanan sosial harus didukung dengan memenuhi berbagai persyaratan yang sudah ditentukan. Dia mengingatkan agar agroforestri ini diperuntukan untuk memperbaiki hutan produksi yang rusak dengan menanam tanaman pangan, tanaman buah-buahan, tanaman hutan, dan pakan ternak. “Apabila membuka dari hutan alam, lebih baik berhenti,” pesannya.
Penulis : Alena Damaris
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Kemenhut