Menjelang Pemilu 2024, potensi terjadinya konflik dan polarisasi masyarakat semakin tinggi. Terlebih karena seluruh pelaksanaan pemilu dilakukan secara serentak, maka wacana akan keamanan saat pemilu menjadi urgensi tersendiri. Potensi kerawanan konflik ini pun ditelaah oleh tiga mahasiswa UGM dengan melakukan jajak pendapat dari masyarakat.
“Semua lapisan masyarakat pastinya akan merasakan hal yang sangat berbeda dari masa pemilu sebelumnya. Kemeriahan dari tahun politik ini pastinya tidak akan bisa terlepas dari konflik yang otomatis timbul karena fanatisme terhadap sebuah pihak. Potensi adanya konflik yang terjadi tidak bisa dipandang secara sebelah mata,” ucap Sherlly Rossa, mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan yang merupakan salah satu peneliti, Selasa (10/10). Menurut Data Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) RI, Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) pada tahun 2024 mendatang menyebutkan Yogyakarta menempati posisi kedua yang memiliki kerawanan tertinggi, yaitu dengan indeks 63.67%.
Tim penelitian terdiri dari lima mahasiswa yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH). Kelimanya adalah Sherlly Rossa (DPP, Fisipol), Muhammad Sidiq Efendi (Sosiologi, Fisipol), Lenny Aurelia Amilia (Sosiologi, Fisipol), Muhammad Ali Syahadah (Pembangunan Wilayah, Fakultas Geografi); dan Stefanus Ega Panji Panuntun (Ilmu Komunikasi, Fisipol). Tim ini dibimbing langsung oleh Dosen Sosiologi, Fisipol UGM, Andreas Budi Widyanta, S.Sos. M.A.
“Topik ini sengaja kami pilih, karena sebentar lagi akan ada momentum Pemilu 2024. Dan kami ingin melihat potensi kerawanan konflik yang terjadi. Mengingat dalam pemilu sebelumnya, konflik juga masih sering terjadi, utamanya karena fanatisme satu pihak dengan yang lainnya,” tambah Sherlly.
Hasil penelitian mengungkapkan, terdapat indikasi pemicu konflik yang berasal dari organisasi di bawah partai politik. “Awalnya kami menduga konflik ini dipicu oleh adanya perbedaan ideologi antar dua kubu, tetapi temuan di lapangan menunjukkan adanya praktik politik ekonomi formal dan informal,” ungkap Sherlly. Penemuan ini mengacu adanya kecenderungan organisasi untuk membuat masyarakat turun ke jalan, berkampanye, dan memperlihatkan fanatisme terhadap kelompok tertentu. Adapun faktor yang paling kuat dilatarbelakangi oleh faktor historis, ekonomi, dan personal.
Meskipun begitu, penelitian juga menjelaskan kesadaran masyarakat akan keutamaan hasil suara dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) itu sendiri. “Salah satu informan kami itu mengatakan kalau menang di jalanan juga belum tentu menang suara di TPS, kan sayang. Lebih baik bikin program yang tujuannya menang di TPS,” tutur Sherlly. Hingga berakhirnya penelitian, Sherlly dan kawan-kawna berhasil mengumpulkan pendapat dari berbagai pihak, khususnya masyarakat yang rentan terhadap konflik. Nantinya, hasil penelitian akan dituangkan dalam laporan berbentuk policy brief yang akan diserahkan pada penyelenggara pemilu sebagai dasar antisipasi pemilu tahun depan.
Penulis: Tasya