Masyarakat merupakan unsur terpenting dalam menjalankan Pemilu 2024. Sebagai pemegang hak suara, masyarakat telah dihadapkan pada berbagai kampanye dan program dari calon politik. Bijak dalam memilih tentunya dibutuhkan untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia. Namun, sudahkah masyarakat saat ini paham mengenai apa yang dibutuhkan, dan apa yang ditawarkan oleh para calon pemangku kebijakan? Terlebih lagi, kesiapan masyarakat akan perbedaan pendapat dan misinformasi patut dipertanyakan.
Deretan akademisi dan ahli politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM mengupas tuntas serba-serbi Pemilu 2024 dalam gelar wicara bertajuk “Pemilih Cerdas untuk Pemimpin Indonesia Masa Depan” pada Selasa (19/9). “Kita tahu bahwa tantangan terberat dari demokrasi kita ke depan adalah seluas mungkin menjadikan semua individu, semua elemen masyarakat menjadi bagian dari sistem ini. Inclusive citizenship ini menjadi agenda paling pokok, di berbagai dunia kita tahu demokrasi mengalami kemunduran. Dan salah satu penyebab hulu kenapa demokrasi semakin mundur, ini adalah karena semakin banyak bagian-bagian dari masyarakat yang tersingkirkan dari sistem politik dan sosial dominan. Indonesia jangan sampai seperti ini,” ungkap Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, S.IP., M.P.A., Ph.D.
Demokrasi sejatinya adalah proses rakyat untuk menyalurkan kekuasaannya pada orang-orang yang dipilih dan dipercaya dalam menjalankan roda pemerintahan. Menurut Rizal Mallarangeng, alumnus UGM sekaligus Founder Freedom Institute, pembangunan ekonomi memiliki peran krusial dalam dinamika demokrasi. “Kita tidak bisa mengharapkan demokrasi tanpa mensejahterakan masyarakat. Ini yang terjadi di Afrika dan Amerika Latin. Karena ekonominya susah, muncul orang-orang yang ingin meruntuhkan sistem. Indonesia ini termasuk yang sukses dalam pembangunan ekonomi, selama 25 tahun terakhir terbukti. Pertanyaannya, kalau kita mau meneruskan pencapaian ini bagaimana satu generasi lagi dapat menjadikan Indonesia sepenuhnya maju,” tuturnya.
Salah satu faktor penting dalam menggaungkan demokrasi adalah media. Penyalur pesan, alat komunikasi, sejak berabad-abad lalu telah memegang peran penting pada dinamika politik. Pun di era berkembangnya teknologi digital ini, terjadi banyak diskusi politik melalui media sosial. Hal ini memicu kekhawatiran akan pengaruh yang dibawa oleh media digital. Bahkan, seharusnya pendidikan tentang penggunaan media digital harus didapatkan sebelum anak boleh menggunakan gawai. Urgensi ini turut disoroti oleh Ismail Fahmi, Founder Media Kernels Indonesia.
“Sekarang banyak anak kecil yang langsung diberi akses ke media digital. Padahal, kalau dilihat, ini seharusnya ada pendidikan dan kompetensi dasar mulai SD, SMP, SMA, terkait kecerdasan digital. Jadi, sebelum diperbolehkan bermedia sosial, ada materi yang harus dikuasai dan harusnya masuk kurikulum,” papar Fahmi. Ia menambahkan, negara-negara di Skandinavia telah menerapkan ini agar masyarakat kebal terhadap perang informasi. Maka dapat dikatakan, kecerdasan digital akan sangat memengaruhi agenda politik yang terjadi.
Guru Besar Departemen Ilmu Komunikasi, Dr.phil. Hermin Indah Wahyuni, M.Si., mengatakan pola komunikasi di masyarakat masih perlu dibina. “Ada banyak rasionalitas yang harus diterapkan. Terkadang pola resonansi, atau banyaknya orang yang membicarakan antar satu topik dengan topik lainnya ini sama. Jadi, isu yang seharusnya ditanggapi dan dibahas dengan serius, justru diperlakukan sama dengan isu-isu tren, pop, dan lain-lain. Ini PR kita bersama,” ucapnya.
Seminar sekaligus pembukaan Dies Natalis Fisipol UGM Ke-68 ini membawa topik menarik dalam persiapan menuju Pemilu 2024. Melalui acara ini, masyarakat diharapkan mampu menjadi agen pemilih yang cerdas dalam menyalurkan suaranya. Dengan begitu, harapan Indonesia Emas 2024 dapat terwujud melalui pemimpin yang tepat.
Penulis: Tasya