Festival Irau sebagai kegiatan tahunan merupakan gelaran seni budaya yang rutin diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Sayang sehabis perhelatan festival selesai aktivitas seni budaya pun turut terhenti. Oleh karena itu, diperlukan upaya mengembangkan festival Taman Budaya Malinau di kemudian hari diharapkan dapat menjadi Simbol Budaya dengan membangun ruang-ruang aktivitas yang mewadahi kegiatan budaya, seperti bangunan utama 2 Theater Hall Indoor dengan kapasitas 500 orang dalam setiap hall, dan plaza budaya sebagai ruang pertunjukan outdoor dengan kapasitas kuran lebih 1000 orang.
Hal itu mengemuka dalam FGD Laporan Akhir Perencanaan Pengembangan Taman Budaya Malinau hasil kerja sama Pemkab Malinau bersama Pusat Studi Pariwisata UGM. di kompleks Kantor Kabupaten Malinau, Rabu (6/11).
Peneliti Puspar UGM, Dr. Destha Titi Raharjana sebagai anggota tim penyusun menegaskan dari perspektif pariwisata, taman budaya yang diimpikan ini mampu tampil sebagai produk budaya yang beridentitas. Malinau, disebutnya sebagai kabupaten dengan luasan terbesar di Kalimantan Utara, dan di kabupaten ini terhimpun 11 suku Dayak yang dapat hidup berdampingan. “Ini momentum pembangunan proyek berjangka panjang jangan hanya menjadi wacana. Perlu kiranya dicarikan dukungan dari kementerian, seiring keberadaan Kementerian Kebudayaan, Kementerian Ekonomi Kreatif, dan Kementerian Pariwisata,” katanya.
Sekda Pemkab Malinau, Dr. Ernes Silvanus, S.Pi, MM,.MH., mengatakan potensi keragaman suku Dayak beserta beberapa paguyuban masyarakat lainnya yang tinggal bersama di Bumi Intulun sangat perlu difasilitasi dengan wadah atau ruang yang representative agar para pekerja seni dapat mengekspresikan kreativitasnya.
Ernes menegaskan banyak kegiatan seni yang dilakukan warga masih menghadapi kendala diantaranya kesulitan menemukan tempat untuk latihan. “Tidak sedikit dari para generasi muda yang terkadang melakukan latihan di dalam ruangan kantor, di halaman dan tempat lain sebisanya yang memungkinkan untuk latihan,” ujarnya.
Ia mengharapkan konsep Taman Budaya Malinau nantinya dapat dijadikan ruang bersama untuk berlatih dan menampilkan keunikan sebelas suku di Malinau bersama paguyuban masyarakat lainnya. Harapannya, Malinau memiliki ruang dan tempat untuk pelestarian, pembinaan dan pengembangan kebudayaan Malinau. Beberapa jenis bangunan yang akan diwujudkan antara lain penyediaan rumah-rumah adat dari sebelas suku di Malinau. Bangunan-bangunan tersebut kelak menjadi alternative ruang akomodasi bagi wisatawan yang hendak merasakan pengalaman budaya berbeda selama di Malinau.
Kelik Sugiarto Atmaja, S.Ars dari tim arsitek dalam kajiannya menjelaskan rencana pembangunan Taman Budaya ini menempati lahan seluas 3,8Ha. Berlokasi di lahan milik pemerintah. Lokasi dirancang di dekat Kantor Desa Kuala Lapang dan Museum Malinau. “Calon lokasi Taman Budaya Malinau secara existing sangat strategis dijangkau”, terangnya.
Lokasi didominasi lahan berkontur, diantaranya masih banyak pepohonan dan beberapa bagiannya masih ada rawa-rawa. Kondisi ini mencerminkan karakteristik topografi dari Malinau sendiri yang nantinya tetap akan dioptimalkan sebagai landscape Taman Budaya Malinau.
Lebih lanjut, Kelik menjelaskan Taman Budaya Malinau dirancang dengan konsep Simpul Budaya yang dapat diartikan dan dianalogikan sebagai tali penyatu keberagaman antarbudaya. Taman Budaya Malinau inipun kelak dapat difungsikan sebagai pengikat budaya Malinau dengan keragaman sebelas suku Dayak, keragaman seni-tari yang dilestarikan, keragaman seni ukir, dan lainya.
Bagi Kelik eksistensi Taman Budaya Malinau di kemudian hari diharapkan dapat menjadi Simbol Budaya Kabupaten Malinau. Implementasi desainnya diwujudkan dengan adanya ruang-ruang aktivitas yang mewadahi kegiatan budaya, seperti bangunan utama 2 Theater Hall Indoor dengan kapasitas 500 orang dalam setiap hall, dan plaza budaya sebagai ruang pertunjukan outdoor dengan kapasitas kurangan lebih 1000 orang. “Ada juga sebelas rumah adat sebagai historical landscape yang akan ditempatkan pada landscape yang berkontur dekat rawa mengikuti kondisi aslinya sehingga nantinya masyarakat dapat melakukan tracking di area tersebut”, ucapnya.
Terhadap gagasan pendirian Taman Budaya Malinau inipun mendapat sambutan baik dari beberapa tokoh adat yang hadir diantaranya para tokoh dari Dayak Lundayeh, Dayak Kenyah, Dayak Abay, Dayak Tidung, dan lainnya. Beberapa dinas terkait yang turut memberikan pandangannya. Para tokoh budaya yang hadir berharap proses pembangunan Taman Budaya Malinau mempergunakan jenis kayu Ulin sebagai bahan utama. Untuk tanaman mereka memberi masukan dengan menggunakan jenis tanaman lokal seperti kayu Meranti,kayu Kapur, kayu Gaharu, dan lainnya. Pun pemanfaatan tanaman buah-buahan lokal yang mudah ditemukan di wilayah Malinau.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Dok.Kemenparekraf