
Universitas Gadjah Mada sepakat berkolaborasi dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta dalam merancang strategi yang lebih efektif dalam pengelolaan sampah di kota Yogyakarta yang hingga saat ini masih dalam kondisi yang memprihatinkan serta mencari solusi inovatif dan berkelanjutan. Hal itu mengemuka dalam kunjungan kerja Walikota Yogyakarta, dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG(K), melakukan audiensi dengan Rektor UGM, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), Ph.D., Kamis (6/3), di Gedung Pusat UGM.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama 1,5 jam tersebut, Hasto meminta masukan dari para ahli dan tim pengelola sampah di lingkungan UGM.
Kepada wartawan, Ova Emilia berujar, sebagai institusi pendidikan tinggi, UGM memiliki sumber daya riset dan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan sampah yang lebih efisien dan ramah lingkungan.“Jadi sebetulnya kami mempunyai satu showcase untuk pengelolaan sampah di Pusat Inovasi Agroteknologi atau PIAT yang berlokasi di Berbah. Bahkan sudah ada kajian-kajian bagaimana jika teknologi di sana di scale-up, khususnya untuk sampah residu ya, untuk dimonetisasi dan berhubungan dengan industri,” ujarnya.
Lebih jauh Ova melanjutkan, tata kelola sampah merupakan masalah universal yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh UGM sehingga kolaborasi yang terjalin akan menjadi inisiasi yang baik dalam pengelolaan sampah di kota Yogyakarta agar menjadi lebih efektif dan berdampak positif bagi lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. “Kolaborasi penuntasan masalah sampah ini bisa diaplikasikan ke skala yang lebih luas antar lintas kabupaten dan kota di Provinsi Yogyakarta,” paparnya.
Walikota Yogyakarta, Hasto Wardoyo menyoroti tantangan utama dalam pengelolaan sampah di Kota Yogyakarta sekarang ini, meliputi peningkatan volume sampah, keterbatasan lahan yang dapat digunakan sebagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA), serta perlunya peningkatan kesadaran masyarakat dalam memilah sampah sejak dari sumbernya. “Jika bicara industrialisasi dalam tata kelola sampah maka skalanya harus besar. Itu yang saya kira penting dan menarik karena dalam satu hari Kota Jogja menghasilkan minimal 300 ton sampah dan meningkat ketika musim liburan, dan ini bisa menjadi input. Jadi inginnya 46 depo Sampah yang ada di Kota Jogja harus bersih di 100 hari kerja saya,” jelas Hasto.
Hasto pun lalu bercerita tentang upaya yang telah ia lakukan dalam penanganan sampah di Kota Yogyakarta, seperti pengalihan anggaran untuk pengadaan gerobak sampah serta mendorong pengelolaan sampah secara mandiri oleh pelaku usaha agar mereka hanya menghasilkan sampah residu yang tidak membebani depo sampah yang digunakan oleh warga. Namun usaha-usaha tersebut dirasa kurang maksimal sehingga membutuhkan bantuan universitas, baik dalam hal teknologi tepat guna, penyusunan kebijakan, dan pengedukasian masyarakat terutama dalam hal pemilahan. “Tiga poin utama yang kami kira perlu detailkan nanti dalam kerja sama ini, mungkin dari substansi keilmuan, tata kelola, hingga ke industrialisasinya seperti apa,” ujar Walikota.
Pakar pengelolaan sampah UGM, Prof. Ir. Wiratni, S.T., M.T., Ph.D., IPM berbagi best practice terkait teknologi maupun manajemen pengelolaan sampah yang sudah dilakukan oleh UGM. Menurutnya, jika dibandingkan dengan masa lalu, teknologi pengelolaan sampah saat ini sudah banyak sekali mulai dari yang sederhana hingga yang adiluhung. “Jadi sebetulnya kita itu hanya butuh orkestrasi dari semua alat itu, tidak sepotong-potong. Nah yang membuat pengolahan sampah Pak Hasto itu tidak berhasil karena konektivitas antara semuanya belum jalan,” tuturnya.
Wiratni lalu mengurai permasalahan sampah kota Yogyakarta dari hulu ke hilir yang sebetulnya separuh dari 300 ton sampah per hari yang dihasilkan oleh masyarakat adalah sampah organik yang berasal dari rumah tangga. Jika sampah organik tersebut terangkut ke gerobak sampah yang telah disediakan oleh Pemkot maka akan membedakan proses selanjutnya. Langkah pertama yang bisa dilakukan menurutnya adalah mencari cara agar sampah organik tersebut tidak keluar dari rumah “Nah pasti nanti pada protes kalau tidak ada lahan untuk mengolahnya. Biopori juga tidak menjadi solusi, karena warga biasanya malas ngeduk. Alternatifnya bisa pakai ember tumpuk, sudah saya buktikan di sekitaran Kali Code, satu rumah tangga cukup satu ember. Hasilnya nanti berupa cairan yang bisa digunakan sebagai pupuk” jelas Dosen Departemen Teknik Kimia, UGM ini.
Jika separuh dari persoalan sampah bisa selesai di dalam rumah, tentunya hal ini akan mengurangi beban depo sampah yang ada di kota Jogja. Teknik composting seperti yang dilakukan di Fakultas Teknik dan PIAT juga bisa dilakukan untuk sampah sapuan daun yang diolah menjadi pupuk kompos. Wiratni pun menyarankan agar KKN tematik di kota Jogja pada tahun ini bisa difokuskan pada permasalahan sampah. Ia dan timnya bahkan telah menyiapkan katalog berbagai teknik membuat kompos yang akan dibagikan ke masyarakat. “Karena terkadang orang-orang itu cuma belum tahu bagaimana caranya, bukan tidak mau. Sehingga mudah-mudahan bisa mengurangi separuh dari permasalahan,” harapnya.
Selain kerja sama terkait tata kelola sampah, di akhir diskusi Hasto pun berharap agar kerja sama bisa diperluas ke dua program lainnya, yaitu pengembangan program One Village One Sister University yang bertujuan untuk memberdayakan komunitas lokal sebagai material teaching bagi universitas, serta pelaksanaan program Food Bank sebuah inisiatif untuk tata kelola distribusi pangan kepada masyarakat yang membutuhkan. Dengan adanya program Food Bank ini, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta melalui akses pangan yang lebih baik dan pengelolaan sumber daya pangan yang lebih efisien.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Firsto