Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Titi Savitri Prihatiningsih, M.A, M.Med.Ed, Ph.D., dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Bidang Pendidikan Kedokteran dan Bioetika, Selasa (28/11), di ruang balai Senat Gedung Pusat UGM. Pada upacara pengukuhan, Titi Savitri menyampaikan pidato yang berjudul Pendidikan Kedokteran Berbasis Kompetensi dalam Konteks Mencapai Kesehatan untuk Semua: Implikasi Terhadap Sistem Akreditasi.
Dalam pemaparannya, Savitri mengatakan Indonesia adalah negara dengan wilayah yang sangat luas dengan banyak pulau dimana masih terjadi ketimpangan dan ketidakmerataan akses terhadap pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan diskrepansi yang cukup lebar dari berbagai indikator kesehatan antara daerah maju dengan daerah terbelakang atau antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan dan terpencil.
Ketidakmerataan pelayanan kesehatan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah semata, namun juga membutuhkan andil dari perguruan tinggi yang memiliki Fakultas Kedokteran yang ada di wilayah tersebut. Oleh karena itu, diperlukan sistem akreditasi pendidikan kedokteran yang memberikan keleluasaan dan fleksibilitas kepada setiap fakultas kedokteran untuk menjawab tantangan masalah dan kebutuhan kesehatan di wilayah kerjanya masing-masing, serta mengakomodasi kreativitas dan inovasi setiap fakultas kedokteran menerapkan Pendidikan Kedokteran Berbasis Kompetensi (PKBK). “Institusi pendidikan kedokteran dapat ikut berkontribusi secara langsung dalam upaya mewujudkan cita-cita Kesehatan Untuk Semua, serta bagaimana sistem akreditasi yang memiliki kekuatan untuk melakukan perubahan dapat mengakselerasi tercapainya cita-cita ini melalui implementasi pendidikan kedokteran berbasis kompetensi,” ujarnya.
Pendidikan Kedokteran Berbasis Kompetensi didasari pada filosofi pendidikan konstruktivisme sosial dan eksistensialisme. Fokus model pendidikan ini adalah pengembangan kemampuan mahasiswa secara utuh agar ketika lulus menjadi dokter dapat berperan aktif melakukan perubahan ke arah perbaikan status kesehatan masyarakat. “Kemampuan dokter ini disebut sebagai kompetensi yang merupakan satu kesatuan semua domain kognitif, afektif, psikomotor, emosi, penalaran klinik, nilai dan lainnya,” katanya.
Ketika seorang dokter lulus dan mendapatkan sertifikat kompetensi, imbuhnya, bukan berarti dokter tersebut akan selamanya kompeten. Penguasaan kompetensi harus selalu diuji dan dievaluasi. Ia mencontohkan, seorang dokter yang telah lama bekerja menangani kasus tertentu di sebuah puskesmas di daerah terpencil tentu akan memerlukan penyesuaian bila dokter tersebut pindah bekerja di Rumah Sakit di kota besar.
Selain berbasis kompetensi, di tingkat internasional telah ada gerakan Global Concensus for Social Accountability of Medical Schools yang dideklarasikan oleh representasi lebih dari 130 asosiasi fakultas kedokteran di seluruh dunia. Konsensus global ini mendorong diadopsinya 10 arah strategis untuk fakultas kedokteran agar melakukan akuntabilitas sosial dengan dua diantaranya mengadopsi PKBK dan peningkatan mutu pendidikan kedokteran berbasis akuntabilitas sosial.
Yang tidak kalah penting juga perlu diterapkannya sistem akreditasi nasional pada penyelenggaraan pendidikan kedokteran. Sistem akreditasi ini dapat mendorong terjadinya peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang sangat signifikan bila sumber daya yang besar ini diarahkan untuk memastikan bahwa fakultas kedokteran menuju akuntabilitas sosial. “Sistem akreditasi perlu diarahkan untuk menilai keseluruhan fungsi fakultas kedokteran dalam berkontribusi terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Firsto