
Kebutuhan akan material biomimetik untuk rekayasa jaringan tulang semakin meningkat seiring dengan kompleksitas kasus klinis, seperti trauma berat, tumor tulang, dan osteomielitis. Pada kondisi tersebut, tubuh manusia tidak mampu melakukan regenerasi tulang secara alami, sehingga diperlukan intervensi melalui penggunaan bone scaffold atau struktur pendukung berbahan biokompatibel yang dirancang untuk meniru jaringan tulang asli. Teknologi scaffold ini yang menjadi kunci dalam menangani cedera tulang yang kompleks karena memungkinkan rekonstruksi bentuk dan fungsi tulang secara presisi. Salah satu pendekatan paling menjanjikan dalam pengembangan scaffold adalah penggunaan kombinasi komposit hydroxyapatite (HA) dan kolagen. HA dikenal sebagai senyawa anorganik utama dalam struktur tulang, sedangkan kolagen merupakan polimer organik alami yang mendukung adhesi dan proliferasi sel. Namun, pencetakan scaffold dengan bahan ini belum sempurna karena retakan mikro kerap muncul saat proses pengeringan selesai.
Untuk menjawab persoalan tersebut, tim peneliti lintas disiplin ilmu asal Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, M. Kusumawan Herliansyah, Ph.D dan Prof. Alva Edy Tantowi serta Dr. drg. Maria G. Widiastuti, Sp.BM.(K) dari Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial, Fakultas Kedokteran Gigi, bersama Nurbaiti, S.T., M.T mahasiswa Program Studi Doktor Teknik Mesin UGM mengembangkan inovasi material dengan menambahkan nanocrystalline cellulose (NCC) ke dalam campuran HA.
NCC merupakan bahan berbasis selulosa yang berukuran nano, memiliki kekuatan mekanik tinggi, serta biokompatibel dengan tubuh manusia. Temuan ini telah dipublikasikan dalam jurnal Quartil 1 (Q1) International Journal of Engineering pada Februari 2025 silam dengan judul “Effect of Adding Nanocrystalline Cellulose on Reducing Micro-Crack of Three-Dimensional Printed Hydroxyapatite/Collagen Composite”. Prof. Alva Edy Tantowi yang menjadi salah satu peneliti dalam riset ini mengungkapkan bahwa NCC memiliki potensi besar karena selain memperkuat struktur, juga bisa menjaga homogenitas material dalam bentuk cetakan 3D. “Penambahan NCC diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya retakan dan memperbaiki kualitas scaffold,” terang Alva.
Eksperimen dilakukan dengan metode 3D bioprinting berbasis ekstrusi menggunakan komposisi optimal 70% HA, 15% kolagen, dan 15% NCC. Hasil riset menunjukkan tidak adanya retakan setelah proses pencetakan dan pengeringan selesai. Alva menjelaskan penambahan NCC berkontribusi signifikan dalam meningkatkan kohesi antar lapisan cetakan dan menjaga kestabilan struktur selama proses manufaktur. “Shrinkage pada sumbu X, Y, dan Z masing-masing hanya berkisar 14%, 15,1%, dan 20,5%, menandakan kestabilan dimensi yang baik,” kata Alva.
Dari sisi sifat mekanik, material komposit ini menunjukkan nilai kekerasan sebesar 0,002 hingga 0,003 HV. Nilai kekerasan ini cukup untuk memenuhi syarat kekuatan scaffold yang akan dibebani tekanan ringan selama masa penyembuhan tulang. Selain itu, karakterisasi menggunakan FTIR dan XRD mengonfirmasi keberadaan gugus-gugus fungsional utama, serta penurunan indeks kristalinitas menjadi 28% yang menunjukkan peningkatan fleksibilitas material, suatu karakter yang menguntungkan dalam regenerasi jaringan. Penurunan kristalinitas ini juga berdampak pada meningkatnya kemampuan material dalam beradaptasi terhadap lingkungan biologis yang dinamis. “Scaffold yang dihasilkan tidak hanya kokoh, tetapi juga lebih responsif terhadap proses pembentukan jaringan baru,” tambah Prof. Alva.
Analisis mikroskop elektron (SEM dan TEM) memperlihatkan bahwa permukaan scaffold terbentuk secara seragam, dengan partikel HA berbentuk bulat, kolagen berbentuk serat, dan NCC dengan morfologi batang. Distribusi morfologi yang konsisten ini menunjukkan ketercampuran material yang baik serta tidak adanya segregasi fase, yang seringkali menjadi penyebab kelemahan struktural pada komposit cetak. Selain itu, hubungan antar partikel dalam jaringan tiga dimensi ini juga memperlihatkan adanya ikatan yang solid dan menyatu secara biomimetik. Dalam analisis EDX, komposisi unsur dominan adalah oksigen (47,77%), kalsium (36,62%), dan fosfat (12,8%), yang mana ketiganya merupakan komponen utama dalam pembentukan jaringan tulang baru. “Struktur ini sangat menyerupai morfologi jaringan tulang asli, yang menjadi salah satu indikator keberhasilan scaffold biomimetik,” jelas Alva.
Dari segi ketahanan termal, material menunjukkan ketahanan hingga 650°C dengan kehilangan massa sebesar 23,46%. Penambahan NCC bahkan menurunkan laju degradasi termal dibandingkan material tanpa NCC, menandakan stabilitas termal yang lebih baik secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa komposit HA/kolagen/NCC mampu mempertahankan integritas strukturnya meskipun terpapar suhu tinggi selama proses fabrikasi atau sterilisasi. Ketahanan ini juga penting untuk memastikan scaffold tetap steril dan tidak mengalami kerusakan saat digunakan dalam prosedur medis yang memerlukan lingkungan bebas kontaminan. “Dengan daya tahan termal yang baik, scaffold ini tidak hanya cocok untuk aplikasi klinis, tetapi juga aman dalam proses sterilisasi medis yang membutuhkan suhu tinggi,” ungkap Alva.
Penelitian ini tidak hanya menghadirkan solusi teknis terhadap persoalan retakan mikro pada scaffold tulang, tetapi juga membuka peluang baru dalam pengembangan material biomimetik nasional. Lebih lanjut, penelitian ini turut mencerminkan komitmen kuat Fakultas Teknik UGM untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak langsung pada pemecahan masalah nyata di masyarakat. “Kami berharap teknologi ini bisa dikembangkan lebih lanjut dalam skala industri untuk memenuhi kebutuhan klinis di rumah sakit, sekaligus mendukung kemandirian bangsa dalam produksi alat kesehatan,” pungkas Alva.
Penulis : Triya Andriyani
foto : Freepik