
Pulau Jawa dikenal sebagai salah satu pulau di Indonesia dengan kepadatan gunungapi aktif tertinggi. Namun, tidak semua gunung berapi di Jawa memiliki bentuk dan karakteristik yang sama. Beberapa gunung ada yang berbentuk kerucut ideal, tetapi ada juga gunung yang tersusun oleh beberapa kerucut sehingga memiliki bentuk kompleks (compound) dan memiliki depresi besar yang dikenal sebagai kaldera. Morfologi kaldera menjadi penanda utama bahwa suatu gunung api pernah mengalami erupsi sangat besar dengan dampak global, sebagai contoh erupsi Gunung Krakatau tahun 1883 dan erupsi Gunung Tambora tahun 1815. Oleh karena itu, pemahaman mengenai evolusi morfologi gunung api menjadi penting dalam konteks kesiapsiagaan bencana gunung api.
Sebuah studi baru dari tim peneliti di Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh Dr. Indranova Suhendro, S.T., M.Sc. mengungkapkan bahwa kandungan potasium dalam magma berpotensi menentukan apakah sebuah gunung api kerucut akan berkembang menjadi gunung api berbentuk kompleks atau menjadi kaldera. Temuan ini dipublikasikan dalam Jurnal Geomorphology edisi Juli 2025 dengan judul ‘On the possible role of potassium enrichment for controlling the morphological evolution of stratovolcanoes into compound or caldera (Java Island, Indonesia)’. “Dalam studi ini, saya beserta tim peneliti menganalisis 40 gunung berapi di Pulau Jawa, termasuk yang selalu aktif seperti Merapi, Raung, dan Ijen,” ungkap Indranova, Selasa (22/7).
Untuk menganalisis evolusi morfologi suatu gunung api, Nova, sapaan akrabnya, melakukan penggabungan morfometri dengan analisis citra satelit dan model elevasi digital (DEM) resolusi tinggi dari NASA dan BIG (Badan Informasi Geospasial). Dengan bantuan QGIS, program perangkatnya, ia mendigitasi kerucut dasar gunung api secara manual dan menghitung serta menganalisis dengan beberapa parameter seperti volume, rasio tinggi-panjang (H/L), lereng rata-rata, serta indeks ketidakteraturan. “Kami juga menghimpun data geokimia dari berbagai publikasi ilmiah, khususnya kadar silika (SiO₂), magnesium (MgO), dan potasium (K₂O) yang mewakili proses diferensiasi magma,” katanya.
Selama ini, silika selalu dianggap sebagai faktor paling penting yang mengontrol eksplosivitas erupsi gunung api. Menariknya, Nova menemukan fakta bahwa seluruh tipe gunung api di Pulau Jawa (strato, compound, dan kaldera) cenderung memiliki rentang silika yang sama, sementara unsur kimia yang menjadi pembeda utama antara setiap tipe gunung api justru terlihat di kadar potasium. “Semua tipe gunung api menunjukkan rentang nilai silika dan magnesium yang saling tumpang tindih, sehingga sulit dijadikan pembeda. Tapi begitu kami telusuri kandungan potasium, perbedaannya langsung terlihat. Kaldera selalu memiliki magma dengan kadar potasium yang tinggi,” jelasnya.
Hasil studi menunjukkan bahwa gunung bertipe kaldera, seperti Raung, Ijen, Bromo, hingga Dieng, memiliki kandungan kalium yang jauh lebih tinggi dibandingkan gunung bertipe stratovolcano dan compound. Beberapa studi eksperimental terdahulu mengungkap jika kandungan potasium yang tinggi ini memungkinkan magma menyimpan lebih banyak gas terlarut pada tekanan tinggi, sehingga ketika magma dengan volume besar mengalami dekompresi secara mendadak, pelepasan gas tersebut bisa menciptakan letusan eksplosif dalam skala besar hingga memicu runtuhnya puncak gunung dan membentuk kaldera. Selain aspek geokimia, penelitian ini menyoroti faktor tektonik yang memengaruhi distribusi gunung bertipe kaldera. Dari perspektif regional, kemiringan lempeng subduksi di bawah Jawa Timur relatif lebih curam dibandingkan dengan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kondisi ini mendukung pembentukan magma yang lebih kaya potasium, yang juga tercermin dalam banyaknya jumlah kaldera di Jawa Timur. “Misalnya, Kaldera Ijen, Raung, Jambangan, dan Bromo yang semuanya terletak di bagian timur Jawa di mana zona subduksinya lebih dalam dibandingkan dengan wilayah di tengah, contohnya Kaldera Dieng, dan barat dengan Kaldera Rawa Danau dan Sunda,” jelas Nova.
Berdasarkan semua data, tim peneliti UGM mengusulkan tiga jalur evolusi untuk gunung api. Jalur pertama menggambarkan evolusi stratovolcano menjadi kaldera tanpa melalui fase compound akibat dari peningkatan kadar potassium yang drastis. Jalur kedua menunjukkan gunung api yang tumbuh menjadi gunung compound sebelum akhirnya membentuk kaldera, yang juga ditandai dengan evolusi magma menuju kadar potasium tinggi. Jalur ketiga adalah kondisi di mana stratovolcano hanya berkembang menjadi compound dan kemungkinan besar tidak membentuk kaldera akibat dari rendahnya kadar potasium.
Nova berujar penemuan ini tidak hanya memperkaya kajian geosains, tetapi juga memberikan implikasi besar untuk mitigasi bencana yang berkaitan dengan gunung api. Selama ini, potensi letusan besar kerap diperkirakan berdasarkan kandungan silika atau ukuran gunung, namun penelitian ini menunjukkan bahwa potasium bisa menjadi parameter baru dalam sistem peringatan dini. “Potasium bisa dijadikan indikator baru dalam pemantauan aktivitas vulkanik, terutama untuk menilai potensi terjadinya letusan besar yang memicu pembentukan kaldera,” pungkasnya.
Penelitian ini menjadi bagian dari kontribusi UGM dalam penguatan riset multidisipliner kebencanaan. Melalui kolaborasi antara Fakultas Geografi dan Pusat Studi Bencana (PSBA), UGM terus berupaya menjadikan ilmu kebumian atau geosains sebagai dasar pengambilan kebijakan mitigasi bencana berbasis data ilmiah. Dengan pendekatan analitis yang solid dan basis data geospasial yang kuat, UGM terus menegaskan perannya sebagai institusi rujukan dalam riset kebencanaan di Indonesia.
Penulis : Triya Andriyani
Foto. : Dok. Tim Peneliti