
Di tengah malam yang tenang di bulan April 2024 silam, langit di atas Pulau Ruang, Sulawesi Utara tiba-tiba berubah muram. Gunung Ruang, salah satu gunung api aktif di Kepulauan Sangihe, meletus setelah lebih dari dua dekade dalam kondisi dorman. Dua fase letusan dahsyat terjadi dalam rentang waktu dua minggu, yaitu pada 17 dan 30 April, dan keduanya dikategorikan sebagai erupsi sub-Plinian, jenis letusan yang setara dengan erupsi Gunung Kelud tahun 2014. Namun, di balik visual dramatis ini, para ahli gunung api justru menemukan sesuatu yang jauh lebih mencengangkan. Letusan ini bukan hanya soal asap dan debu, tetapi tentang magma yang tidak biasa karena begitu padat oleh kristal sehingga mengubah seluruh cara letusan itu bekerja.
Temuan ini kemudian diangkat dalam sebuah studi ilmiah oleh tim peneliti lintas institusi, termasuk dari Universitas Gadjah Mada dan dipublikasikan dalam Journal of Volcanology and Geothermal Research, yang baru saja dirilis pada 14 April. Dr. Indranova Suhendro, S.T., M.Sc., Dosen Departemen Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi UGM, yang berperan sebagai ketua tim peneliti mengungkapkan bahwa Gunung Ruang menyimpan sebuah keunikan yang bisa menjadi kunci untuk memahami perilaku letusan-letusan eksplosif di masa depan. “Magma Gunung Ruang mengalami dekompresi yang sangat cepat, setara dengan erupsi ‘Pompeii’ Gunung Vesuvius dan erupsi tahun 1991 Gunung Pinatubo, tetapi kolom letusannya jauh lebih kecil. Ini karena magmanya terlalu padat kristal, sehingga terlalu berat untuk terdorong ke atmosfer lebih jauh,” ujarnya, Rabu (16/4).
Tim peneliti mencatat bahwa kolom abu dari dua kali letusan Gunung Ruang hanya menjulang setinggi 9 hingga 19 kilometer. Untuk ukuran letusan sub-Plinian, angka ini termasuk pendek padahal magma yang naik ke permukaan saat itu bergerak sangat cepat dengan laju dekompresinya mencapai 29 megapascal per detik. Dalam banyak kasus, kecepatan seperti ini bisa menghasilkan letusan yang lebih besar bahkan mencapai intensitas Plinian dengan kolom abu yang menjulang tinggi dan dampak yang lebih luas. Namun kenyataannya kolom letusan Gunung Ruang malah tertahan. “Hal ini membingungkan pada awalnya, sampai akhirnya kami menemukan penyebabnya, yakni magma yang terlalu padat karena dipenuhi kristal membuat letusan seakan terhambat dari dalam,” jelasnya.
Dengan menggunakan teknik analisis mikroskopik, geokimia, dan pemodelan tekanan, para peneliti menunjukkan bahwa magma Gunung Ruang mengandung kristal besar seperti plagioklas dan amfibol dalam jumlah luar biasa banyak hingga mencapai 37-87% volume pumis. Fenomena ini menyebabkan berat jenis magma meningkat sehingga membatasi daya dorong letusan. “Ibaratnya seperti balon udara yang dibebani terlalu banyak manusia atau overcapacity, kemampuannya untuk melayang ke udara jadi semakin rendah” tambah Indranova dengan analogi sederhana.
Uniknya, penelitian ini juga menemukan ciri-ciri bahwa magma berinteraksi dengan air eksternal saat meletus. Ini tampak dari tekstur abu vulkanik yang berbentuk blok dengan permukaan seperti pecahan kaca (hackle marks). Interaksi air-magma ini kemungkinan menambah daya ledak letusan, meski tetap tidak mampu mendorong kolom abu lebih tinggi. Peneliti juga mencatat bahwa letusan terjadi hanya tujuh hari setelah gempa berkekuatan 6,5 M melanda kawasan Laut Maluku. Lonjakan aktivitas seismik sebelum erupsi menunjukkan bahwa gempa bisa berperan sebagai pemicu.
Temuan ini membuka perspektif baru dalam memahami perilaku letusan gunung api, khususnya di Indonesia yang memiliki banyak gunung aktif dengan karakteristik magma yang kaya akan kristal. Selama ini pemantauan aktivitas vulkanik umumnya berfokus pada gempa vulkanik dan emisi gas. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya kandungan kristal dalam magma sebelum letusan dapat memengaruhi intensitas dan tinggi kolom erupsi bahkan ketika magma mengalami tekanan yang tinggi dan pergerakan yang cepat.
Dalam konteks mitigasi bencana, temuan ini menjadi penting. Jika kandungan kristal dalam magma dapat diukur dan dianalisis secara rutin maka data tersebut berpotensi menjadi indikator tambahan dalam memprediksi potensi bahaya letusan, termasuk seberapa tinggi kolom abu bisa terbentuk, seberapa luas penyebaran material erupsi, dan seberapa besar dampaknya terhadap masyarakat di sekitar gunung api. “Kami berharap ke depannya, analisis kristalinitas magma sebelum erupsi melalui berbagai teknik pemantauan, misal menggunakan alat geofísika, bisa digunakan sebagai alat prediksi tambahan, bukan hanya sekadar memantau gas dan getaran,” harap Indranova.
Penelitian ini menjadi salah satu contoh nyata kontribusi ilmuwan Indonesia dalam mengungkap proses geologi ekstrem yang berdampak langsung pada keselamatan publik. Selain itu, keterlibatan berbagai institusi dari dalam dan luar negeri juga menunjukkan betapa pentingnya kolaborasi lintas disiplin dan lintas negara dalam riset kebencanaan, terutama di wilayah rawan letusan seperti Indonesia. “Saya juga bersyukur memiliki tim yang kompak dan passionate terhadap riset. Mereka semua adalah rekan saya saat masih sekolah dan hingga saat ini masih terus intens berkolaborasi demi kemajuan riset gunung api di Indonesia,” pungkas Indranova.
Letusan Gunung Ruang setahun silam bukan hanya menyisakan abu tetapi juga wawasan baru. Dari kristal-kristal kecil di dalam magma dapat dipelajari bahwa bencana alam menyimpan logika tersendiri dan ilmu pengetahuan adalah kunci untuk memahaminya dan tetap menjadi pertahanan pertama.
Penulis. : Triya Andriyani
Foto : Dok. Indranova Suhendro