
Festival film kerap identik dengan gemerlap layar lebar, antusiasme penonton, serta hadirnya sineas ternama dari berbagai penjuru dunia. Dibalik keberhasilannya, terdapat peran besar para relawan yang bekerja dengan semangat sukarela, mulai dari membantu teknis pelaksanaan, melayani penonton, hingga memastikan kelancaran acara. Peran mereka tidak dapat dipandang sebelah mata, sebab tanpa kehadiran relawan, penyelenggaraan festival kultural seperti ini tidak akan berjalan optimal. Namun demikian, menjaga keberlanjutan partisipasi relawan bukan perkara mudah, terutama dalam konteks acara yang bersifat temporer. Tidak sedikit relawan yang hanya terlibat satu kali, lalu tidak kembali di tahun berikutnya. Hal ini menimbulkan tantangan serius bagi penyelenggara, khususnya dalam merancang strategi yang mampu membangun keterikatan emosional agar para relawan memiliki niat untuk terus berkontribusi.
Isu tersebut menjadi fokus kajian yang dilakukan oleh Rokhima Rostiani, S.E., M.Mgt dan Prof. Nurul Indarti, Sivilokonom., Cand.Merc., Ph.D., dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM). Dalam publikasi ilmiah berjudul ‘The human touch: investigating the importance of anthropomorphism in retaining episodic volunteers’ yang dimuat di International Journal of Event and Festival Management pada akhir Desember 2024 silam, keduanya meneliti keterikatan emosional para relawan dalam konteks Jogja NETPAC Asian Film Festival (JAFF), salah satu festival film bergengsi di Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa relawan lebih terdorong untuk kembali terlibat apabila mereka memandang festival sebagai entitas yang manusiawi, yakni memiliki sifat-sifat seperti kejujuran, empati, dan integritas. Dalam ilmu perilaku, fenomena ini dikenal dengan istilah anthropomorphism, yaitu kecenderungan untuk memberikan karakteristik manusia kepada objek atau institusi non-manusia. Fenomena ini menjadi relevan khususnya dalam konteks acara yang bersifat temporer, di mana waktu keterlibatan yang singkat tidak selalu cukup untuk membangun ikatan sosial secara natural. “Ketika relawan memandang festival sebagai entitas yang jujur, berempati, dan dapat dipercaya, mereka akan merasa lebih dekat secara psikologis. Kedekatan ini yang kemudian memicu rasa memiliki dan keinginan untuk terus terlibat,” jelas Rokhima.
Penelitian ini juga menemukan bahwa niat untuk terus menjadi relawan lebih dipengaruhi oleh identifikasi emosional, bukan semata oleh kontribusi teknis yang diberikan selama festival berlangsung. Identifikasi emosional ini mencakup perasaan bangga menjadi bagian dari festival, merasa cocok dengan atmosfer dan budaya kerja, hingga keyakinan bahwa keterlibatannya memiliki makna personal yang lebih dalam daripada sekadar menjalankan tugas. Semakin kuat perasaan bahwa dirinya ‘sejiwa’ dengan identitas dan visi festival, semakin tinggi pula komitmen untuk terus mendukung dan berkontribusi, meskipun sifat kegiatan yang diikuti hanya berlangsung dalam jangka waktu singkat. Dalam konteks ini, relawan tidak lagi melihat dirinya sebagai pihak luar yang membantu dari kejauhan, melainkan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari festival itu sendiri. “Ketika relawan merasa nilai-nilai personalnya selaras dengan identitas festival, maka ia akan dengan sukarela kembali terlibat. Dalam hal ini, rasa bangga dan kenyamanan berperan besar,” tutur Rokhima.
Implikasi praktis dari temuan ini menunjukkan bahwa untuk mempertahankan relawan secara berkelanjutan, festival perlu membangun citra dan budaya organisasi yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan secara konsisten dan autentik. Nilai-nilai seperti kejujuran, idealisme, empati, dan kepedulian sosial tidak cukup hanya dikomunikasikan secara verbal, tetapi harus benar-benar tercermin dalam tindakan, interaksi sehari-hari, dan keputusan-keputusan strategis yang diambil oleh penyelenggara festival. “Komunikasi eksternal seperti kampanye media sosial, publikasi, maupun penyampaian pesan dalam acara pembukaan dan penutupan festival menjadi medium penting untuk menanamkan citra tersebut,” ungkap Rokhima.
Namun yang tak kalah penting, nilai-nilai yang telah dibangun juga perlu diinternalisasi dalam praktik organisasi sehari-hari, misalnya melalui pola kerja yang kolaboratif, cara menyambut relawan baru, hingga bagaimana apresiasi diberikan kepada mereka. Festival juga dapat menghadirkan narasi simbolik yang kuat melalui visualisasi yang menyentuh emosi, seperti maskot, logo, atau elemen visual lainnya yang disusun dengan narasi nilai tertentu. Kehadiran maskot atau simbol yang “berkarakter” ini dapat membantu membangun kedekatan psikologis antara relawan dan festival, karena mereka tidak hanya melihat festival sebagai acara sekali setahun, melainkan sebagai entitas yang memiliki ‘jiwa’, kepribadian, dan komitmen terhadap nilai-nilai yang mereka percayai.
Penelitian ini memberikan wawasan penting bagi penyelenggara festival dan organisasi non-profit lainnya. Untuk mempertahankan relawan, organisasi tidak hanya mengandalkan sistem kerja yang efisien tetapi juga harus membangun hubungan yang bermakna dan berkelanjutan. Pendekatan berbasis relasi emosional dan nilai-nilai kemanusiaan terbukti mampu membentuk ikatan psikologis yang lebih kuat antara relawan dan organisasi.
Melalui kajian ini, FEB UGM menunjukkan perannya sebagai institusi yang tidak hanya unggul dalam ilmu manajemen, tetapi juga turut memberikan kontribusi nyata dalam penguatan praktik organisasi sosial dan kebudayaan di masyarakat. Rokhima berharap penelitian ini dapat menjadi landasan bagi berbagai pihak dalam merancang strategi pengelolaan relawan yang lebih inklusif, berdaya jangka panjang dan berpusat pada manusia. “Relawan bisa berasal dari mana saja, tetapi yang membuat mereka bertahan adalah perasaan bahwa mereka dihargai, dibutuhkan, dan memiliki ikatan emosional dengan organisasi. Dan rasa itu hanya bisa tumbuh jika organisasi mampu menampilkan sisi manusiawinya,” pungkas Rokhima.
Penulis : Triya Andriyani
Ilustrasi : Freepik