Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi resmi menerbitkan Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum di jenjang PAUD, SD hingga Pendidikan Menengah. Menariknya, ekstrakurikuler Pramuka dulu bersifat wajib justru hilang dari daftar Alokasi Waktu Mata Pelajaran Ekstra.
Pengamat Kebijakan Pendidikan UGM, Dr. Subarsono, M.Si., M.A. menanggapi dengan biasa-biasa saja atas perubahan tersebut. Baginya jika penghapusan tersebut karena kajian akademik tentu tidak menjadi masalah.
“Yang penting ekstrakurikuler apapun itu matakuliah atau kurikulumnya sepanjang selalu diarahkan untuk membantu mencerdaskan anak. Saya tentunya menanggapinya ya soft-soft saja karena soal ekstra kurikuler ini memang ada yang wajib dan sukarela,” ujarnya di Fisipol UGM, Rabu (3/4).
Dia menyampaikan ekstrakurikuler Pramuka dahulunya memang bersifat wajib namun seiring perkembangan menjadi tidak wajib. Karena itu sifat ekstrakurikuler harus selalu ditinjau apakah mendukung kurikulum inti atau tidak.
Menurutnya ekstrakurikuler Pramuka dahulu masih dibutuhkan karena masih sesuai dengan kebutuhan masa lalu. Saat ini, kondisi global sudah berubah dan masyarakat hidup di dalam era digital dan globalisasi sehingga sudah sewajarnya perlu dipikirkan bagaimana memberikan ekstra kurikulum yang berhubungan dengan literasi digital.
“Bagaimana menggunakan teknologi digital, membaca internet, X, big data dan seterusnya. Kalau saya biasa-biasa saja menarik kurikulum pramuka dari yang bersifat wajib,” terangnya.
Dengan dihapus dari yang bersifat wajib tentu berdampak, meski begitu harus dipahami pula bila dunia memang sudah berubah. Siswa-siswa hidup dalam era digital dan globalisasi sehingga akan lebih mengena bila siswa diberikan pelajaran-pelajaran yang mendukung kecerdasan, misalnya dalam penggunaan piranti-piranti digital.
“Tentunya mereka lebih mampu merespon perubahan global ini, misal kemampuan membangun net working, berkolaborasi, kemampuan berkomunikasi dalam bahasa asing, dan itu saya kira jauh lebih penting daripada pramuka,” jelasnya.
Soal pelajaran kemandirian hidup yang biasa diajarkan dalam Pramuka, kata Subarsono anak-anak jaman sekarang sebenarnya sudah belajar mandiri karena sejak kecil mereka sudah terbiasa dengan smart phone. Tanpa diajari oleh siapun (orang tua sekalipun) mereka sudah terbisa mencari informasi sendiri melalui smart phone.
Sehingga anak-anak jaman sekarang memiliki otonomi, dan cara belajar berkelompok dalam pramuka tetap bisa mereka dapatkan secara individu melalui smart phone. Disebutnya guru pramuka biasa seorang guru yang memiliki kompetensi pramuka, dan tantangannya sekarang bagaimana bisa mencari guru ekstrakurikuler yang sesuai dengan mata pelajaran ekstrakurikuler terbaru.
“Kalau mau memberi ekstrakurikuler terkait digital maka mencari pengajar yang terbiasa di bidang digital. Atau jika perlu guru-guru pramuka lama diupgrade untuk bisa mengampu ekstra-ekstra kurikuler yang baru,” ungkapnya.
Soebarsono mengakui infrastruktur digital di masing-masing daerah tidak sama, karena itu usulnya untuk daerah yang jauh dari kota (pinggiran) bisa dilaksanakan ekstrakurikuler yang sesuai di desa atau di rural area bersangkutan. Semisal mereka yang ada di desa di pesisir bisa diberikan ekstrakurikuler baru bagaimana bisa berenang, menangkap ikan atau mengolah ikan dan lain-lain.
“Saya kira dengan begitu mereka akan memiliki soft skill sehingga kalau mereka menjadi dewasa bisa mengelola alam disekitarnya, menangkap, mengolah dan sebagainya. Artinya sebagai gantinya ekstrakurikuler Pramuka bisa yang sesuai tren kekinian atau ekstra-ekstra yang mampu menggali potensi di sekitarnya,” imbuhnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Duta TV