Belum usai perang Rusia dan Ukraina, dunia dikejutkan dengan pecah perang antara Iran dan Israel. Berapa pengamat memperkirakan konflik baru Iran dan Israel memungkinkan akan memicu terjadinya Perang Dunia ke-3.
Meskipun konflik tidak berdampak secara langsung terhadap Indonesia, tetapi sejumlah pengamat menilai konflik ini akan mengganggu jalur-jalur distribusi perdangangan yang selama ini memasok berbagai kebutuhan maupun perekonomian berbagai negara. Iran sendiri selama ini dikenal sebagai negara penghasil migas yang tentunya akan berpengaruh terhadap harga minyak di seluruh dunia.
“Kenaikan harga migas, tentunya akan menyebabkan dampak karambol pada sektor-sektor perekonomian. Sebelum itu, kita ingat konflik Rusia dan Ukraina telah menyebabkan terganggunya pasokan pupuk yang menyebabkan langkanya pupuk di berbagai negara, termasuk Indonesia,” ujar Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D. pengamat pertanian, agrometeorologi, ilmu lingkungan, dan perubahan iklim, di Kampus UGM, Senin (22/4).
Ia memprediksi perang terbaru antara Iran dan Israel akan menimbulkan gejolak atau konflik baru dunia, yang tentunya akan berpengaruh terhadap perekonomian dunia, termasuk kemungkinan pengaruhnya untuk Indonesia.
Ia juga sepakat dengan pengamat lainnya jika perang tersebut tidak akan berpengaruh secara langsung untuk Indonesia. Meski begitu ada dampak tidak langsung yang akan berpengaruh kepada Indonesia.
“Apabila ada kenaikan harga minyak, tentunya ini akan berpengaruh terhadap supply logistik, yang akan berpengaruh ke harga-harga komoditas di Indonesia, tak terkecuali sektor pangan dan pertanian,” ucapnya.
Meski begitu, ia mengajak melihat konflik dunia ini dengan menyikapi secara positif. Artinya situasi ini menjadi momentum untuk berdikari, tidak tergantung negara lain. Sangat diharapkan ketersediaan pangan dalam negeri harus terpenuhi, karena bisa dipastikan ketersediaan pangan menjadi harga mati suatu bangsa.
Masyarakat secara keseluruhan mestinya mampu melihat dalam hal pemenuhan pangan tidak harus menggantungkan kepada petani saja tetapi bisa menjadi tanggungjawab tiap-tiap rumah tangga/orang. Karenanya tiap-tiap rumah tangga/orang bisa memanfaatkan lahan-lahan sempit dan kosong untuk ditanami tanaman maupun komoditas agro lainnya seperti ternak maupun ikan (urban farming).
“Selain urban farming, kita pun juga berharap pada pemerintah melalui program-programnya dalam upaya meningkatkan produktivitas dan meningkatkan kesejahteraan petani,” katanya.
Situasi global saat ini, katanya mau tidak mau membuat bangsa Indonesia harus bisa mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Pemerintah dan masyarakat harus menyiapkan swasembada pangan yang berkelanjutan, dan salah satu solusinya dengan menyiapkan ekosistem-ekosistem pertanian berbasis inovasi teknologi.
Ekosistem pertanian yang dimaksud adalah sistem pertanian terpadu, dimana dalam satu lokasi atau desa sudah terjamin atau tersedia. Pertama, penyedia saprotan/saprodi sebagai penyedia input dengan produk- produk yang disepakati ekosistem. Kedua, perbankan dan asuransi pertanian yang bisa menyediakan platform pinjaman atau kredit bagi petani, dan ketiga teknologi, yaitu dengan menyediakan teknologi yang bisa dimanfaatkan petani, baik di lahan maupun teknologi digital untuk penjualan produk hasil petani.
Selain itu, keempat harus mampu menjamin keberlangsungan ekosistem. Kelima adanya fasilitator, dalam hal ini adalah dinas pertanian setempat, dan keenam offtaker sebagai penjamin bahwa hasil panen petani mampu terserap secara keseluruhan dengan harga yang pantas, serta ketujuh peran petani atau kelompok tani sebagai pelaksana dalam ekosistem.
“Semoga dengan adanya kolaborasi program antara petani, swasta, akademis dan pemerintah, dapat menghasilkan swasembada pangan dan kita tidak tergantung lagi pada kondisi sedang konflik atau tidak ada konflik di dunia,” terangnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Prokaltim