Beberapa waktu belakangan ini, masyarakat dihadapkan pada beras yang langka dan mahal di pasaran. Banyak pihak menyatakan bahwa kenaikan harga ini salah satunya disebabkan adanya dampak perubahan iklim yang menjadikan jadwal tanam di tahun lalu (2023) mundur. Mundurnya jadwal panen inipun disebut menjadikan pasokan beras menjadi berkurang, dan berdampak pada tingginya harga beras di pasaran.
Menurut Pengamat Bidang Agrometeorologi, Ilmu Lingkungan, dan Perubahan Iklim UGM, Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D. masyarakat diharapkan tidak boleh hanya menyalahkan persoalan mundurnya jadwal tanam sebagai akibat perubahan iklim sebagai faktor penyebab saja, tetapi sudah seharusnya banyak pihak bisa membuat suatu perencanaan agar kejadian naiknya harga beras yang tidak terkendali bisa diantisipasi jauh-jauh hari.
“Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat data pertanian. Pemanfaatan informasi dalam sistem produksi pertanian harus dilakukan dengan pendekatan penelitian berbasis penggunaan teknologi informasi dan komunikasi, information and communication technology,” terangnya di Kampus UGM, Rabu (20/3).
Penggunaan teknologi ini, menurutnya memungkinkan perekaman lebih detail terkait proses-proses yang terlibat mulai dari hulu sampai hilir. Mulai dari lingkungan (environment) hingga pada tanaman (crop).
Data yang tersimpan dalam basis data (database) tentunya semakin lama semakin besar, seiring dengan berjalannya waktu pengamatan dalam proses produksi. Analisis data yang tersimpan dalam jumlah besar atau Big Data Analysis tentunya diharapkan bisa memberikan pemahaman kepada petani dari hasil ekstraksi nilai informasi yang mungkin dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan produktivitas.
“Sejauh ini, metode analisis big data sesungguhnya sudah banyak dimanfaatkan untuk mendukung aktivitas industri, namun untuk bidang pertanian masih perlu untuk dieksplor lebih lanjut,” katanya.
Bagi Bayu Dwi Apri Nugroho model pengembangan data pertanian tingkat desa sangat penting karena berkaitan dengan peningkatan produktivitas, penentuan komoditas yang akan ditanam, kualitas tanah, penanganan hama dan penyakit dan masih banyak lagi. Data pertanian ini dapat ditangkap atau dibarui secara realtime dalam framework data tunggal sehingga dapat diolah dan dianalisa menjadi sebuah keputusan yang tepat secara bisnis.
Sayangnya persoalan Institusional, SDM dan Teknologi dan Informasi sejauh ini masih menjadi permasalahan utama dalam pengembangan data pertanian. Padahal posisi Kementrian Pertanian dalam model pengembangan data pertanian tingkat desa ini adalah sebagai Lead untuk kemudian diserahkan di tingkat daerah yaitu kepada Dinas Pertanian masing-masing, dan kemudian dibreakdown lagi ke wilayah yang lebih kecil yaitu kecamatan dan desa.
Data tentu saja berkaitan dengan informasi yang berhubungan dengan Teknologi Informasi dan Komuniasi (TIK) perlu adanya kerja sama dengan Dinas Komunikasi dan Informasi di level yang sama. Kominfo pun mempunyai peran penting dalam pengembangan data pertanian dengan memposisikan perannya di bawah koordinasi Kementan, yaitu dengan melakukan koordinasi dengan Dinas Pertanian, Dinas Informasi dan Komunikasi dan pemerintah daerah terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi untuk pertanian.
“Pengumpulan data ini melibatkan tenaga lapangan yang dikoordinasi oleh Dinas Pertanian melalui penyuluh-penyuluh lapangan. Tenaga lapangan dapat ditambah dengan merekrut sistem lapangan, hal ini tergantung APBD dari masing-masing daerah,” terangnya.
Lebih lanjut, Bayu menyatakan pengembangan data pertanian di tingkat desa ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk jangka panjang sehingga perlu persiapan dan koordinasi antara lembaga dan pemerintah daerah agar program ini dapat berjalan dengan lancar. Adanya data pertanian di tingkat desa ini tentunya akan memudahkan pemerintah untuk membuat suatu kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan petani di lapangan.
Pemetaan teknologi, disebutnya dapat dilakukan dengan melihat data tunggal ini. Kementerian Komunikasi dan Informasi dapat berperan banyak terkait hal ini agar tidak terjadi overlapping dengan kementerian atau lembaga lain, seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, dan lain-lain.
“Sinkronisasi data untuk melakukan analisis dan prediksi merupakan salah satu hal penting yang harus dipenuhi oleh bidang pertanian. Dalam hal ini upaya penggunaan data tunggal yang terintegrasi antar badan terkait adalah solusi yang tepat sehingga dengan ketepatan data dapat digunakan sebagai dasar keputusan dan kebijakan dalam bidang pertanian contohnya keputusan impor beras, termasuk sebagai langkah antisipasi adanya dampak perubahan iklim seperti fenomena El Nino dan La Nina,” ungkapnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Freepik.com