Permasalahan pengungsi Rohingya yang terjadi dan berulang sebenarnya sudah ada aturannya dalam norma-norma atau hukum internasional. Salah satu yang mengaturnya adalah konvensi pengungsi, dimana bagi negara yang sudah meratifikasinya berkewajiban untuk menerima karena peraturan tersebut bersifat mengikat.
Indonesia belum meratifikasi peraturan konvensi pengungsi tersebut, namun sudah meratifikasi berbagai macam konvensi dan kovenan HAM seperti mengenai anti penyiksaan dan sebagainya. Hal tersebut menjadikan Indonesia mempunyai kewajiban dalam tanda kutip untuk menerima para pengungsi Rohingya tersebut.
Dasar ideologis dan idealisme tentang kemanusiaan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang membicarakan tentang perdamaian dunia dan kemanusiaan yang adil dan beradab termasuk kemanusiaan bagi orang-orang bukan warga negara Indonesia. Salah satu alasan yang menjadikan sulit untuk menolak pengungsi Rohingya bisa dikatakan karena ada sentimen religius dengan fakta bahwa mereka sebagian besar adalah muslim. Indonesia salah satu anggota dari ASEAN sehingga sulit untuk menolak karena ada kewajiban moral, hukum, dan sebagainya.
Dr. Dafri Agussalim, M.A. selaku Direktur Eksekutif ASEAN Studies Center, Universitas Gadjah Mada mengatakan Indonesia mempunyai dilema dengan menerima pengungsi Rohingya karena akan menimbulkan potensi beban pada pembiayaan ekonomi. Hal tersebut dikarenakan harus membiayai untuk makan, tempat tinggal, dan sebagainya. Potensi gesekan sosial juga bisa terjadi dikarenakan mungkin saja para pengungsi yang datang berbenturan secara nilai moral dan perilaku dengan masyarakat lokal.
“Dampak lain yang bisa saja ditimbulkan adalah konflik mengenai perebutan lapangan pekerjaan dan konflik-konflik lainnya. Beberapa permasalahan tersebut tidak bisa langsung menjadikan Indonesia menolak kehadiran para pengungsi dikarenakan ada alasan etika dan moral termasuk hukum internasional yang mengikatnya,”kata Dafri, Jumat (22/12).
Ia menambahkan Indonesia tidak mungkin memenuhi permintaan tanah oleh pengungsi Rohingya seperti yang terjadi di Malaysia, namun kebijakan jangka pendek yang bisa dilakukan dengan cara mencarikan tempat penampungan sementara bagi para pengungsi. Pada saat bersamaan Indonesia harus melakukan diplomasi yang cukup gigih untuk meyakinkan dan memastikan pihak UNHCR atau negara-negara lain anggota PBB untuk mengatasi permasalahan pengungsi Rohingya.
Diplomasi yang diusahakan itu terkait bantuan biaya dan membuka pintu untuk tujuan akhir bagi para pengungsi. Diplomasi yang gigih juga harus dilakukan terhadap negara-negara ASEAN yang selama ini mempunyai pandangan, sikap, dan kebijakan yang berbeda terkait permasalahan pengungsi Rohingya yaitu beberapa negara ada yang menolaknya.
” Jika dikaitkan dengan solidaritas yaitu menjaga keamanan di Asia Tenggara sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Bangkok, mestinya negara-negara anggota ASEAN ikut ambil bagian yaitu dengan mencarikan tempat penampungan yang tidak harus di Indonesia, melainkan di negara anggota ASEAN yang mempunyai kemampuan untuk menyediakan pendanaan dan tempat penampungannya,”imbuhnya.
Permasalahan pengungsi Rohingya harus dilihat dari dua sisi, yaitu dari pertama sisi faktor pendorong penyebab orang-orang Rohingya itu mengungsi yang disebabkan konflik dalam negeri yang rumit, tidak adanya pengakuan eksistensi etnis Rohingya dari pemerintah Myanmar, ancaman pembunuhan, kelaparan dan sebagainya. Indonesia sudah melakukan diplomasi tetapi belum tuntas dan masih terjadi, sehingga hal ini merupakan pekerjaan jangka panjang yang berat dengan membutuhkan diplomasi yang gigih dari negara-negara anggota ASEAN. Faktor kedua adalah dilihat dari sisi penarik alasan pengungsi Rohingya menjadikan Indonesia sebagai tujuan. Hal ini bisa saja dikarenakan sistem pengamananan Indonesia yang lemah, persamaan agama mayoritas sehingga dianggap Indonesia lebih bisa menerima, dan mungkin saja alasan kemungkinan di Indonesia untuk bekerja jauh lebih mudah.
Dr. Dafri Agussalim, M.A. menjelaskan mungkin saja ada faktor-faktor lain yang disebut sebagai kelompok tengah atau aktor tengah yang memainkan perannya di sana sebagai calo. Dulu ada kasus kejadian mengenai pengungsi dari beberapa negara menuju ke Australia yang ternyata ada calo yang menyewakan kapal dan seterusnya, sehingga orang yang seperti ini perlu ditangani dengan kerja keras.
“Kita harus memberikan pengertian kepada masyarakat Indonesia bahwa kita memang mempunyai kewajiban kemanusiaan terhadap mereka. Permasalahannya adalah bagaimana caranya menerima pengungsi Rohingya tanpa merugikan masyarakat. Indonesia harus bekerja keras melobi negara-negara di dunia, pertama adalah negara anggota PBB yang peduli terhadap masalah pengungsi dan Lembaga UNHCR untuk menyelesaikan permasalahan ini. Mereka harus membantu kita dalam sisi pembiayaan untuk menempatkan ke tempat penampungan sementara, seperti yang kita lakukan pada pengungsi Vietnam di Pulau Galang. Implementasi hal tersebut memerlukan biaya dari Lembaga Internasional dan yang harus dilakukan adalah diplomasi agar mereka di terima di negara tujuan, misalnya di Australia, Kanada dan sebagainya, tetapi kita memastikan kalau Indonesia bukan tujuan akhir,” pungkasnya.
Penulis: Rifai