
Melemahnya pertumbuhan ekonomi berdampak pada berbagai sektor terutama dalam industri manufaktur dan jasa sehingga penyerapan tenaga kerja makin berkurang. Kondisi ini menyebabkan jumlah pengangguran kian meningkat. Bahkan jumlah angkatan kerja berpendidikan tinggi juga makin bertambah.
Berdasarkan data laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru, tingkat pengangguran per Februari 2025 mencapai 7,28 juta orang dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 4,76%. Jumlah tersebut bertambah sebanyak 83.000 orang dibanding tahun sebelumnya. Jika dilihat berdasarkan jenjang pendidikan, lulusan sekolah menengah dan perguruan tinggi menempati peringkat teratas dalam jumlah pengangguran. Artinya, populasi angkatan kerja muda tidak terserap dengan baik oleh lapangan kerja yang tersedia.
Pakar dan Pemerhati bidang Ketenagakerjaan dari Fisipol UGM, Prof. Dr. Tadjuddin Noer Effendi, MA, menilai tingginya angka pengangguran dari kelompok berpendidikan ini disebabkan jumlah angkatan kerja terus bertambah di tengah kondisi lapangan kerja yang minim. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara kebutuhan industri dengan kompetensi sumber daya yang ada. Menurutnya pemerintah gagal menjembatani sektor pendidikan dengan industri. “Cita-cita Indonesia Emas itu mungkin cuma impian belaka karena kita kehilangan tenaga potensial untuk membangun Indonesia. Bagaimana kita wujudkan itu tanpa melibatkan mereka melalui serapan tenaga kerja,” tegas Tadjudin, Rabu (21/5).
Tingginya tingkat pengangguran tanpa adanya solusi tepat sasaran dapat berpotensi memunculkan serangkaian masalah sosial, seperti meningkatkan kemiskinan, kriminalitas, sampai melemahkan kompetensi masyarakat. Ia berpendapat, Pemerintah perlu berupaya untuk menciptakan peluang lapangan kerja terdidik yang mampu menampung sebagian besar angkatan kerja. Tadjudin mencontohkan, pemerintah bisa mendorong upaya pelatihan kompetensi, pembangunan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dan membuka lagi kartu pra kerja. “Hal yang penting lagi menurut saya karena banyaknya tenaga kerja berpendidikan maka perlu ada revitalisasi pendidikan, terutama dalam hal pelatihan vokasi,” kata Tadjudin.
Pendidikan terapan perlu mendapat dukungan lebih agar bisa tersalurkan langsung di sektor industri. Selain itu, pengembangan pelatihan berbasis digital juga perlu ditingkatkan mengingat tantangan teknologi baru akan terus muncul.
Apabila pemerintah belum bisa menyediakan lapangan kerja yang memadai. Tadjudin mengusulkan pemerintah juga bisa melihat peluang pengentasan pengangguran melalui ekspor tenaga kerja ke luar negeri. Mengingat kebutuhan tenaga kerja di negara lain cukup tinggi, sementara Indonesia memiliki kelebihan jumlah tenaga kerja. “Menyalurkan tenaga kerja bisa menjadi salah satu solusi. Dengan catatan, pemerintah perlu menjamin keamanan dan perlindungan tenaga kerja dengan menyalurkan secara Government to Government,” ujarnya.
Ia berharap agar pemerintah bisa menciptakan strategi yang efektif dalam mengatasi pengangguran dengan peluang-peluang yang ada. Jika tidak teratasi, resiko terburuk akan berdampak pada berbagai masalah sosial lainnya. Sebab, perlambatan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu faktor jumlah pengangguran di tanah air makin bertambah.
Menurutnya, lambatnya pertumbuhan ekonomi RI membuat banyak perusahaan mengalami krisis sehingga mau tidak mau harus memberhenti ratusan karyawan. “Gabungan antara PHK dan pengangguran usia muda berpendidikan itulah yang menyebabkan angka pengangguran meningkat. Maka pemerintah harus membuat kebijakan untuk menyelesaikan masalah itu,” ujarnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik