
Sengketa perbatasan Ambalat antara Malaysia dan Indonesia kembali mencuat ke permukaan publik. Pasalnya, Presiden RI Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim menyetujui kerja sama pengelolaan wilayah laut Ambalat, Laut Sulawesi atau Selat Makassar.
Pakar Geodesi Universitas Gadjah Mada, I Made Andi Arsana, Ph.D menilai kerja sama yang disepakati oleh kedua pemimpin negara ini merupakan bentuk kesepakatan sementara. Keduanya memiliki hak yang sama untuk mengelola wilayah tersebut dan membagi hasilnya satu sama lain. Namun begitu, kerja sama tersebut harus memiliki kejelasan soal batas wilayah. “Tetap harus ada kesepakatan batas wilayah nantinya apakah dibagi dua atau Indonesia mendesak Malaysia untuk memiliki wilayah tersebut. Jangan sampai kesepakatan saat ini kemudian dianggap menjadi final,” ucap Andi, Kamis (10/7).
Dikatakan Andi, kerja sama ini perlu mendapat pengawasan secara seksama oleh semua pemangku kepentingan, pasalnya kawasan Ambalat menyimpan kekayaan minyak, gas, bahkan biota laut yang melimpah. Selain itu, sejumlah kasus penangkapan destruktif juga kerap kali terjadi di area tersebut. “Sengketa Ambalat ini tentunya menjadi hambatan bagi Indonesia untuk memberlakukan kebijakan demi melindungi ekosistem laut,” ujarnya.
Meski sudah disepakati pengelolaan bersama, namun Andi berpendapat keputusan tersebut perlu diarahkan untuk memastikan dengan jelas ruang mana yang akan dikelola bersama, seperti apa pembagian pengelolaan atau hasilnya, serta jangka waktunya. “Kita harapkan kesepakatan tersebut dapat menjadi jembatan pada keputusan akhir garis batas wilayah laut Indonesia dan Malaysia di Selat Makassar,” ungkapnya
Ia menyebutkan, batas laut Sabah, Malaysia dan Kalimantan, Indonesia berbatasan dengan Pulau Sulawesi belum disepakati sejak lama. Tahun 1966-1970, Indonesia telah melakukan pengelolaan minyak di wilayah tersebut tanpa adanya kesepakatan dengan Malaysia. Dasar garis perbatasan tersebut dilakukan Indonesia dengan menarik garis batas pulau terluar sebagai acuan batas wilayah. Pemerintah Indonesia menganggap bahwa seluruh wilayah laut selatan merupakan milik Indonesia, dan wilayah utara adalah Malaysia. Namun pada tahun 1979, Malaysia melakukan klaim sebagian wilayah laut selatan, termasuk yang sudah dikelola oleh Indonesia. “Sebetulnya baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama melakukan klaim sepihak. Sampai saat itu juga belum ada kesepakatan,” ujar Andi.
Pada perkembangannya, Indonesia terus menjalankan proyek pengelolaan di wilayah sengketa yang dinamakan Blok Bukat dan Sebawang. Disampaikan Andi, menariknya area tersebut kalau diperhatikan mengikuti klaim sepihak dari Malaysia. Kemudian berlanjut sampai tahun 1999 barulah wilayah Ambalat seluas 15.235 kilometer persegi dimunculkan Indonesia sebagai proyek minyak dan gas. Sengketa terus berlanjut sampai 2005 Malaysia juga melakukan pengelolaan di wilayahnya sesuai klaim sebelumnya. Dengan kata lain, Indonesia dan Malaysia belum mencapai kesepakatan namun telah melakukan pengelolaan sumber daya laut di wilayah yang sama. “Kalau dilihat dari kacamata netral hukum wilayah laut ya memang ini belum milik siapa-siapa. Namun perlu ditegaskan ada overlapping claim di sini. Tidak semua wilayah Selat Makassar adalah Ambalat,” tutur Andi.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Intisari