Ketersediaan produk farmasi, termasuk obat-obatan baru dan inovatif di Indonesia masih terbatas. Bahkan, obat baru di tanah air saat ini masih didominasi produk impor. Salah satunya dikarenakan masih terbatasnya industri farmasi yang mengasilkan obat berbasis riset meski pemerintah telah melakukan intervensi regulasi.
“Industri farmasi di Indonesia lebih banyak melakukan formulasi dan atau pengemasan obat dibandingkan memproduksi obat berbasis riset,” jelas Guru Besar Ilmu Farmakologi dan Toksikologi, Fakultas Farmasi UGM, Prof. Dr. apt. Arief Nurrochmad, M.Si., M.Sc., Selasa (6/2) di Balai Senat UGM.
Memaparkan pidato pengukuhan berjudul Peran Farmakologi dan Toksikologi dalam Pengembangan Obat Baru: Perspektif Baru Penggunaan Big Data dan Jejaring Farmakologi, ia mengatakan produksi obat berbasis riset dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan ketersediaan obat. Sementara pengembangan obat baru memerlukan proses panjang dan waktu yang lama.
“Pengembangan obat baru mulai dari ide awal hingga peluncuran produk jadi merupakan proses yang kompleks, memakan waktu 12–15 tahun dan menghabiskan biaya lebih dari 1 miliar USD,”paparnya.
Pada awalnya, target obat terapeutik harus diidentifikasi dengan metode eksperimental secara tradisional. Kemudian, ahli biologi struktural muncul untuk menguraikan struktur tiga dimensi (3D) serta karakteristik pengikatan ligand untuk mengungkapkan apakah hal ini memungkinkan sebagai target obat baru. Selanjutnya, ahli kimia obat dan farmakologi menggunakan high-throughput screening untuk menemukan beberapa senyawa timbal yang sangat efektif untuk penilaian keamanan lebih lanjut serta uji klinis.
Secara umum, lanjutnya, prosedur tersebut mahal dan membosankan. Pada tahun 2018, hasil studi Moore et.al 2008 menemukan bahwa biaya rata-rata uji kemanjuran untuk 59 obat baru yang disetujui oleh FDA selama 2015-2016 adalah 19 juta USD. Oleh karena itu, diperlukan metode untuk mengatasi keterbatasan prosedur penemuan obat konvensional dengan memperkenalkan metode yang lebih efisien, berbiaya rendah dan berbasis komputasi.
“Dibandingkan dengan metode penemuan obat secara tradisional, desain obat yang rasional, penggunaan metode desain obat yang dibantu komputer, terbukti lebih efisien dan ekonomis,”ucapnya.
Desain obat rasional mengintegrasikan molecular docking ke kantong ikatan ligan dari target terapeutik yang menjanjikan, menghitung energi ikatan dari setiap senyawa molekul kecil. Selain itu, secara selektif memilih yang terbaik sebagai kandidat untuk masuk ke tahap prosedur eksperimental berikutnya. Penelitian Ferreira et al., 2015 mencatat saat ini ada lebih dari 100.000 struktur 3D protein yang telah disimpan dalam Protein Data Bank (PDB) untuk molecular docking. Berbeda dengan metode tradisional, desain obat rasional telah meningkatkan tingkat hit skrining obat lebih dari 100 kali.
Oleh sebab itu, Arief menegaskan pentingnya melakukan pemanfaatan setiap kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dalam bidang farmakologi dan toksikologi sebagai upaya penemuan dan pengembangan obat baru. Semakin baik kandidat obat dirancang selama tahap percobaan, akan meminimalkan kemungkinan obat tersebut gagal pada tahap akhir terutama dalam uji klinis dengan pengujiannya sangat mahal.
Pandemi COVID-19, lanjutnya, telah memaksa semua pihak memikirkan kembali cara mempercepat waktu penemuan dan pengembangan obat dan vaksin. Metode penemuan obat yang baru, efektif, dan lebih murah menjadi penting. Kecerdasan buatan (Artificial Intelligence) bersama dengan big data mempunyai potensi untuk menyediakan sumber dan metodenya yang mampu menganalisis data dalam jumlah besar dan dalam waktu yang relatif singkat.
“Penggunaan big data dan AI berkembang begitu cepat sehingga meningkatkan penemuan target obat dalam kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya,”ucapnya.
Penulis: Ika
Foto: Donnie