Sampah plastik masih menjadi persoalan dalam pengelolaan sampah di Indonesia yang sampai saat ini sulit terselesaikan. Pasalnya komponen plastik menjadi jenis sampah yang sulit dihancurkan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat total timbunan sampah di Indonesia yang mencapai 17,4 juta ton hingga tahun 2023, adapun sampah plastik yang menyumbang sekitar 17,29% dari total sampah seluruhnya. padahal meningkatnya polusi mikroplastik tidak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia dan hewan. Hal itu mengemuka dalam seminar yang bertajuk “Plastic Pollution from scientific to Community Perspective: a One Health Approach” di ruang auditorium Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Rabu (24/4).
Seminar internasional hasil kerja sama antara Gugus Tugas One Health Collaborating Center (GT-OHCC) Universitas Gadjah Mada dan Institut français Yogyakarta ini menghadirkan beberapa pembicara diantaranya Direktur Direktorat Penelitian UGM Prof. Dr. Mirwan Ushada, S.T.P., M.App.Life Sc., General Manager Nexus3 Foundation, Krishna Zaki, Direktur Penelitian Institut Nasional Ilmu Kesehatan dan Kedokteran Prancis (INSERM), Prof. Isabella Annesi-Maesano, dan Ketua Gugus Tugas One Health Collaborating Center FKKMK UGM Prof. dr. Tri Wibawa, Ph.D., Sp.MK (K)
Mirwan mengatakan isu soal pengolahan sampah dan limbah kini menjadi persoalan serius di banyak daerah termasuk yang kini menjadi sorotan soal TPA di Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun begitu, menurutnya, salah satu isu yang perlu menjadi perhatian adalah meningkatnya polusi mikroplastik yang cukup berbahaya bagi kesehatan. “Salah satu isu yang sangat mengkhawatirkan adalah meningkatnya polusi mikroplastik yang tidak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan, tetapi juga berdampak pada kesehatan manusia dan hewan,” ucap Mirwan.
Krishna Zaki menerangkan untuk memahami bahaya plastik bagi kesehatan dilihat dari unsur kimia yang terbentuk di dalamnya. Sedikitnya terdapat 13.000 monomer atau molekul kecil yang berikatan membentuk molekul polimer yang panjang di dalam plastik, 7.000 diantaranya bersifat berbahaya, dan 3.200 berpotensi menimbulkan kekhawatiran. “Salah satu contohnya yaitu adanya kelompok senyawa buatan yang selama puluhan tahun banyak digunakan untuk membuat wajan anti lengket karena ketahanannya terhadap panas atau air,” ujarnya.
Selain itu, bahan kimia dalam plastik yang digunakan dalam produk sehari-hari, seperti mainan anak, pakaian, dan perabotan, dapat berdampak pada kesehatan manusia. Sebab, paparan terhadap bahan kimia ini dapat terjadi melalui udara terkontaminasi, makanan, air, dan debu yang tercemar, serta kontak langsung dengan kulit. “Dampaknya termasuk gangguan fungsi hormon, penurunan kesuburan, kerusakan pada sistem saraf, hipertensi dan penyakit kardiovaskular, dan risiko kanker paru-paru dan hati,” jelasnya.
Menurutnya penting bagi masyarakat untuk mengurangi dan mengeliminasi produk plastik yang bermasalah, seperti polistirena, sedotan dan tas plastik, serta kebijakan bersama antar negara untuk mengadopsi kontrol global terhadap plastik.
Sementara Prof. Isabella Annesi-Maesano menjelaskan dampak kesehatan buruk dari paparan mikroplastik yang dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu efek fisik dan efek kimia. Efek fisik terkait dengan ukuran partikel, bentuk, dan konsentrasi mikroplastik, sedangkan efek kimia terkait dengan adanya bahan kimia berbahaya dalam mikroplastik, seperti logam berat, serta adanya kandungan bio kontaminan dari bakteri, virus, hingga jamur.
Sedangkan Prof. Tri Wibawa, menekankan pendekatan One Health untuk memahami lebih dalam tentang dampak polusi mikroplastik dan bagaimana mengatasi secara global. Untuk mengatasi bahaya sampah plastik ini menurutnya perlu kerja sama dan pendekatan holistik yang dipandu oleh prinsip satu Kesehatan.
Penulis: Dita
Editor: Gusti Grehenson