Sebanyak 453 akademisi dan aktivis organisasi internasional dari 50 negara mengikuti konferensi internasional tentang migrasi paksa atau International Association for the Study of Forced Migration Conference (IASFM) ke-20 yang berlangsung di kampus UGM, 21-23 Januari. Konferensi yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali ini mengangkat tema Forced Displacement in an Urbanizing World. Konferensi digelar dalam rangka menanggapi permasalahan isu mengenai migrasi paksa yang banyak terjadi di negara seperti di Myanmar, Palestina, dan Indonesia.
“Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi ancaman bencana alam yang lumayan besar. Maka dari itu tidak dipungkiri bahwa migrasi paksa harus dilakukan untuk memberikan jaminan keselamatan bagi masyarakat,” kata Peneliti Pusat Riset Politik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A., saat menyampaikan pidato kuci dalam pembukaan IASFM di Grha Sabha Pramana, Selasa (21/1).
Menurut Nuke, migrasi paksa memang memiliki sejarah panjang di Asia Tenggara. Ia menyebutkan terdapat tiga periode sejarah mengenai migrasi paksa di Asia Tenggara. Namun migrasi paksa semakin parah sejak adanya krisis laut Andaman. Hingga saat ini setiap kontinen pun cenderung menerapkan peraturan yang defensif dan tidak kooperatif demi menjaga kepentingan masing-masing. “Migrasi paksa terjadi karena tidak adanya perlindungan yang legal dan layak dalam pemenuhan atas dasar kemanusiaan,” ungkapnya.
Dr. Kwaku Arhin-Sam, akademisi dan peneliti dari Friedrich Schiller University Jena, Jerman, mengatakan dirinya saat ini tengah melakukan riset soal migrasi internasional menemukan banyak negara dengan kebijakan politik yang berorientasi menjadi negara anti imigran. “Orang-orang yang dipaksa pergi dan pindah dari asal mereka,” ujarnya.
Dosen dari Departemen Antropologi, Dr. Realisa Darathea Masardi, menegaskan konferensi internasional ini diharapkan mampu memperkuat kekuatan akademik dalam menanggapi isu migrasi paksa. “Universitas Gadjah Mada sebagai universitas yang leading dalam bidang research, sudah saatnya para akademisi untuk berkolaborasi dengan aktivis dan organisasi yang berhubungan dengan isu migrasi paksa ini,” katanya.
Menurutnya, hasil dari konferensi ini tidak hanya berdampak untuk keperluan akademik, namun juga harus mampu memberikan awareness kepada masyarakat Indonesia. Pasalnya, tujuan akhir dari kegiatan ini yaitu mampu memberikan pemahaman yang lebih luas sehingga mampu mempengaruhi kebijakan pemerintah yang masih belum inklusif dengan adanya pengungsi yang ada di Indonesia. “Saya kira konferensi ini untuk mendukung suara-suara yang tidak didengarkan agar sampai kepada pemerintah,” harapnya.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K)., Ph.D., dalam pidato sambutannya menyampaikan apresiasi para akademisi dan peneliti serta aktivis organisasi internasional yang datang sebagai pembicara dan partisipan yang turut hadir dalam konferensi ini. “Suatu kehormatan bagi Universitas Gadjah Mada dapat menjadi tuan rumah IASFM ke-20. Tidak lupa juga ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung keberlangsungan konferensi ini,” katanya.
Universitas Gadjah Mada, kata Rektor, berkomitmen untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian kontemporer yang mana nantinya akan berdampak positif dalam pengembangan kebijakan dan mampu menyediakan wadah untuk menyalurkan suara para migran.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Lazuardi