Dibuka dengan nyanyian tembang Jawa yang syahdu dan menciptakan suasana yang kental dengan nuansa tradisional, Gelanggang Inovasi dan Kreatifitas Universitas Gadjah Mada (GIK UGM) melangsungkan acara kolaborasi unik yang berbentuk pentas ketoprak yang mengambil judul “Mendhung ing Karangwuni”, Selasa (20/8) malam, di Joglo GIK Universitas Gadjah Mada.
Selain mengangkat isu-isu sosial, pentas ketoprak kali ini menyisipkan elemen genre romantis, dimana tokoh anak perempuan di desa tersebut terpaksa dijodohkan oleh Bapaknya dengan tokoh anak dari investor demi perbaikan di desanya. Kehadiran unsur romantis ini berhasil menjaga alur cerita agar tidak monoton, dan penonton pun tetap terhibur meski lakon ini membahas isu-isu berat. Konflik-konflik yang dihadirkan, disertai dengan proses resolusi yang logis, membuat lakon ini menjadi sebuah pertunjukan ketoprak yang utuh dan sempurna.
Dilengkapi dengan properti, lighting, dan alunan musik gamelan yang tepat, suasana lakon ini tentu membawa penonton seperti berada pada situasi yang sebenarnya. Tak sedikit penonton yang ikut menimpali dialog-dialog dalam lakon cerita dan dibalas oleh pemain sehingga kembali mengundang tawa. Para penonton turut mengapresiasi seluruh pemain yang telah bekerja keras dengan memberikan tepuk tangan yang meriah pada akhir dari lakon ini.
Selama pertunjukan, penonton disuguhi dengan dialog-dialog yang spontan dan penuh humor sehingga mengundang gelak tawa. Cerita dimulai dengan obrolan sekumpulan bapak-bapak yang mendiskusikan perbaikan desanya, dari obrolan tersebut berkembang menjadi berbagai konflik yang akhirnya diselesaikan melalui resolusi yang tepat. Dengan berbekal sebuah treatment (tanpa naskah jadi), ketoprak yang diinisiasi ini menjadi sangat amat fleksibel. Improvisasi para pemain menjadikan cerita ini dinamis dan tak terduga, membuat setiap adegan terasa segar dan relevan dengan kondisi saat ini.
Dengan hanya melakukan latihan sebanyak lima kali, Bambang Paningrom, salah satu sutradara dan inisiator kethoprak ini berhasil menggiring kawan-kawan pemain lakon ini untuk membawakan cerita yang menarik. Judul yang dipakai dalam lakon ini terinspirasi dari salah satu wilayah di utara UGM, yaitu Karangwuni. Meski demikian, latar cerita ini sebenarnya tidak berfokus pada lokasi tersebut, melainkan lebih kepada nilai-nilai dan isu-isu aktual yang relevan dengan kondisi masyarakat saat ini.
Bambang menjelaskan bahwa cerita ini mewakili situasi tertentu dan dibuat dengan sangat bebas, aktual dan berisi kritik serta simbol-simbol tertentu di dalamnya. Ia juga menyampaikan mengenai Karangwuni yang menjadi sebuah simbol dalam lakon ketoprak ini. “Peristiwa yang dibayangkan adalah peristiwa yang aktual di masa sekarang, dimana orang mengambil keputusan itu tanpa mendengarkan suara lingkungan terdekatnya. Banyak yang melanggar norma, etika, dan semua ini akan tercermin dalam lakon,” jelasnya.
Ketoprak Kolaborasi ini merupakan sebuah uji coba agar Universitas Gadjah Mada menjadi lebih inklusif dan terbuka. Ia juga menyampaikan agar UGM tidak hanya dipandang sebagai “menara gading”, karena UGM masih menyapa warga-warga di sekitar dan komunitas di luar UGM. “Apa gunanya sebuah universitas yang terpandang dan punya banyak hal, banyak kelebihan, tapi malah meninggalkan masyarakat di sekitarnya,” ujarnya saat ditanya oleh awak media.
Ia berharap dalam kelancaran acara pentas ketoprak ini bukan hanya untuk menawarkan sebuah hiburan. Sebaliknya agar terdapat nilai-nilai yang patut ditiru oleh para penonton, gagasan yang kritis, keterbukaan, integritas, dan penghormatan pada ide-ide serta menghargai orang lain. “Jadi ketoprak itu bukan cuma pertunjukan tapi benar-benar sebuah media menyampaikan gagasan, sharing dan penghargaan pada tradisi khususnya Jawa,” harapnya.
Seperti diketahui, pertunjukan Ketoprak kolaborasi ini merupakan program yang dilaksanakan oleh divisi Community Outreach GIK UGM dengan melibatkan berbagai pihak mulai dari warga sekitar UGM, para alumni, hingga tenaga kependidikan Universitas Gadjah Mada, serta komunitas-komunitas lainnya.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto. : Tom Blero/Kagama.id