Infectious bovine rhinotracheitis (IBR) merupakan salah satu penyakit hewan menular yang mengancam peternakan sapi di Indonesia. Penyakit IBR yang menyerang sistem pernafasan atas pada sapi ini mengakibatkan penurunan produktivitas, reproduktivitas, terjadinya latensi-reaktivasi virus, yang pada akhirnya berdampak pada kerugian ekonomi dan efek sosial.
“Kejadian IBR di Indonesia yang meningkat perlu tindakan pencegahan dan strategi pengendalian penyebaran penyakit,” tutur Prof.Dr.drh. Tri Untari, M.Si., saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Mikrobiologi, Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Selasa (12/12) di Balai Senat UGM.
Dalam pidato pengukuhannya yang berjudul Problematika Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis Pada Sapi Di Indonesia, Tri Untari mengatakan pentingnya deteksi dini untuk pengendalian penyakit dan mencegah penularan. Hal tersebut perlu dilakukan mulai dari hulu sampai hilir.
“Pusat bibit penghasil semen perlu terus dipantau secara rutin untuk mencegah penyebaran IBR,”jelasnya.
Tak hanya itu, Tri Untari menyebutkan program eradikasi IBR juga harus dilakukan secara konsisten. Lalu, peran karantina perlu ditingkatkan kapasitas kemampuan deteksi, terutama dalam pengawasan sapi-sapi impor yang masuk.
Ia menambahkan penerapan vaksin marker Differentiating Infected from Vaccinated Animal (DIVA), perlu dipertimbangkan sehingga dapat dibedakan sapi yang terinfeksi dan sapi yang divaksin untuk kontrol dan eradikasi. Seperti diketahui negara-negara Eropa telah menggunakan vaksin DIVA sehingga monitoring dengan uji serologis ELISA dapat dibedakan antara antibodi hasil vaksinasi atau infeksi lapangan. Namun, sapi di Indonesia belum menerapkan vaksin DIVA dengan berbagai pertimbangan.
“Implementasi vaksin tersebut dilakukan dengan analisis ekonomi veteriner sehingga dapat diperhitungkan keuntungan dan kerugiannnya,”ujarnya.
Penulis: Ika