
Bidang Humas dan Pemberitaan Universitas Gadjah Mada menyelenggarakan workshop ‘Penyusunan Narasi Publikasi Kasus Kekerasan Seksual’ pada Senin (5/5) di Gedung Pusat UGM, sebagai bagian dari upaya penguatan sistem tata kelola dan komunikasi dalam penanganan kekerasan seksual. Dihadiri oleh perwakilan staf yang bergerak di bidang pemberitaan di setiap Fakultas dan Unit Kerja di lingkungan UGM, kegiatan ini bertujuan untuk memperkuat kapasitas pengelola informasi di lingkungan UGM agar mampu menyusun narasi publikasi yang berpihak pada korban, etis, dan bertanggung jawab. “Isu kekerasan seksual tidak bisa ditangani hanya dari sisi legal dan administratif, tetapi harus pula dilihat dari aspek psikososial, komunikasi, dan perlindungan korban. Universitas harus menjadi ruang aman bagi semua warganya,” ungkap Sekretaris Universitas, Dr. Andi Sandi Antonius, S.H., LL.M dalam sambutannya.
Andi menegaskan pentingnya mengedepankan perspektif korban dalam penanganan maupun publikasi kasus kekerasan seksual (KS). Ia juga menyebut bahwa kerja kolaboratif antara Satgas PPKS, pengelola informasi, dan pimpinan unit sangat krusial dalam membangun kepercayaan publik. Kegiatan ini diharapkan menjadi langkah awal dalam membakukan standar komunikasi krisis yang responsif terhadap kasus kekerasan seksual. “UGM berharap setelah selesai mengikuti workshop, semua peserta mampu menulis narasi publikasi yang baik, dan skill ini jangan disimpan sendiri, tularkan ke rekan kerja lainnya karena KS ini terkadang sulit untuk dipahami,” pesannya.
Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Fakutas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM, Dr. Ratna Noviani, S.IP., M.Si., Ph.D., sebagai narasumber utama, memaparkan soal prinsip-prinsip penyusunan narasi publikasi yang etis, tidak menyalahkan korban, serta tidak mengulang kekerasan secara simbolik dalam pemberitaan atau dokumentasi kasus. Ratna menyampaikan bahwa publikasi kasus kekerasan seksual harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan berbasis pada perspektif korban. Bahkan media internal kampus memegang peran strategis dalam membentuk opini publik yang mendukung keadilan bagi korban. Selain itu, Ratna juga menekankan pentingnya konsistensi antara nilai kelembagaan dan praktik komunikasi yang dilakukan dalam setiap krisis. “Sering kali publikasi justru menjadi bentuk kekerasan sekunder. Misalnya, ketika identitas korban dapat dikenali, atau narasi yang disampaikan menekankan ketidaksempurnaan perilaku korban,” ujarnya.
Ratna juga membagikan sejumlah panduan praktis dalam menyusun siaran pers terkait kasus kekerasan seksual. Beberapa hal yang sebaiknya dilakukan (do’s), antara lain menggunakan bahasa yang netral dan tidak menyalahkan korban, menegaskan komitmen institusi terhadap keadilan dan pemulihan, serta memastikan informasi yang disampaikan tidak menimbulkan trauma ulang. Sementara itu, hal-hal yang perlu dihindari (don’ts) mencakup menyebut detail kronologi secara vulgar, mengungkap identitas atau ciri-ciri yang bisa melacak korban, serta menyisipkan opini yang bias gender atau moralistik. “Dalam kasus kekerasan seksual, narasi bukan sekadar alat komunikasi. Narasi itu seperti politik, bisa menjadi alat perlindungan atau sebaliknya, alat kekerasan kedua,” tegas Ratna.
Ia juga menekankan pentingnya membedakan antara kebutuhan komunikasi institusional dengan kepentingan jurnalisme publik. Oleh karena itu, setiap rilis atau pernyataan publik sebaiknya melalui telaah etis terlebih dahulu, tidak hanya aspek legal semata. Pendekatan lintas disiplin dinilai penting untuk menghasilkan kebijakan komunikasi yang benar-benar berpihak dan bertanggung jawab. “Narasi kelembagaan harus mampu menunjukkan keberpihakan pada korban sekaligus akuntabilitas institusi tanpa harus mengungkap hal-hal yang berpotensi membahayakan pemulihan korban,” jelas Ratna.
Setelah sesi pemaparan, peserta kemudian diajak untuk mengikuti sesi diskusi dan latihan. Dalam sesi tersebut, peserta mengeksplorasi berbagai contoh narasi publikasi yang dipandu oleh Elok Santi Jesica, S.Pd., M.A, Dosen Departemen Sosiologi FISIPOL UGM. Peserta kemudian bekerja dalam kelompok untuk merumuskan draft pernyataan resmi berdasarkan studi kasus yang kemudian dikaji bersama dari sisi etika dan komunikasi. Pendekatan partisipatif ini membuat peserta lebih peka terhadap potensi dampak dari narasi yang disusun. Beberapa peserta mengemukakan pentingnya forum seperti ini diadakan secara berkala untuk merespons dinamika penanganan kasus di kampus.
Penulis : Triya Andriyani
Foto. : Firsto