Jamu adalah sebuah kebudayaan asli Indonesia yang sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya. Jamu merupakan sebuah minuman herbal yang dibuat dari berbagai rempah-rempah yang berguna untuk menjaga kesehatan tubuh dan menghilangkan penyakit. Pada saat ini Jamu sudah diakui oleh UNESCO sebagai sebuah warisan budaya tak benda. Akan tetapi sayangnya saat ini masyarakat memiliki kesadaran yang kurang terkait fakta bahwa kebudayaan jamu bisa dikembangkan lebih jauh dari hanya sekedar budaya minuman sehat saja.
Untuk menanggapi hal ini sekelompok seniman dari berbagai daerah berkumpul guna mengadakan sebuah pameran seni yang bertemakan jamu dengan tajuk ‘Jejamuan Art Project’ guna meningkatkan kesadaran masyarakat terkait pengembangan jamu di sektor kesenian. Pameran yang diselenggarakan oleh unit seni rupa UGM ini dibuka sejak Kamis (17/10) hingga Selasa (22/10) di The Ratan Art Space, Bantul, DIY.
Terdapat sekitar 23 hasil karya seni yang dipajang di pameran ini. Beberapa diantaranya adalah Fears, Weakness, Hopes karya Stevy Noza, New Era of Jamu as Lifestyle with an Urban Touch karya Umi Jari Widayah, serta The Burden of Ibuism karya Zia Esha Azhari Muzafar Shidiq. Dari karya seni ini memberikan interpretasi tersendiri bagi pengunjung terkait bagaimana kondisi dari tradisi kebudayaan jamu pada masa kini.
Dalam lukisan “Fears, Weakness, Hopes”, Stevy Noza menjelaskan terkait kebingungan masyarakat Indonesia masa kini terkait jamu. Apakah sebaiknya jamu ditinggalkan? atau apakah terus dikembangkan? Selain itu lukisan ini juga menggambarkan sebotol jamu yang ditimang seperti anak sendiri di dalam bagian mata. Menurut Noza selaku pelukis, hal ini melambangkan harapan masyarakat Indonesia supaya selalu bisa untuk menyayangi dan memeluk jamu seperti anak sendiri.“Sedangkan mata yang tertangkap kamera mempresentasikan harapan masyarakat untuk jamu dikemudian hari. Harapan agar terus memeluk dan menyayangi jamu layaknya anak sendiri.” jelas Noza dalam deskripsi lukisannya.
Sedangkan di lukisan “New Era of Jamu as Lifestyle with an Urban Touch”, Umi Jari Widayah menjelaskan bahwa terdapat potensi peluang dan potensi kreatif atas pembaruan yang tercipta dari praktik tradisional budaya minum jamu di era yang baru dengan kolaborasi dengan budaya urban untuk mencapai generasi yang sehat melalui minum jamu.
Selanjutnya, di karya mixed media “The Burden of Ibuism”, Zia Esha Azhari Muzafar Shidiq mengkritik keadaan saat ini, dimana perempuan diposisikan sebagai penjaga utama dari tradisi jamu, dimana perempuan diposisikan sebagai pembuat, penjual, sekaligus penjaga pengetahuan terkait jejamuan. Hal ini dapat mempersempit ruang gerak perempuan dan memaksa perempuan untuk memikul peran tersebut tanpa melibatkan laki-laki secara setara.
Zia melanjutkan lebih dalam bahwa penggunaan dua manekin ini merepresentasikan ketidakadilan tersebut. Manekin perempuan yang dipakaikan kain bermotif jamu dan berwarna hangat melambangkan tekanan pada perempuan terkait pelestarian budaya. Sedangkan manekin laki-laki yang dipakaikan baju putih “kosong” melambangkan kurangnya peran laki-laki dalam pelestarian budaya jamu.
Menurutnya, dalam konteks tradisi jamu, perempuan sering kali diposisikan sebagai pengemban utama tanggung jawab, baik dalam peran sebagai pembuat, penjual, maupun penjaga pengetahuan tentang jamu. Karya ini ingin menunjukkan bahwa beban tersebut bukan hanya simbol dari peran budaya, tetapi juga suatu bentuk tekanan sosial yang mempersempit ruang gerak perempuan. “Perempuan diharuskan untuk terus memikul peran tersebut tanpa melibatkan laki-laki secara setara,” jelas Zia di deskripsi karyanya.
Semua karya yang ada pameran ini mengekspresikan pendapat para seniman pembuatnya terkait tantangan-tantangan apa saja yang kini dihadapi oleh para pembuat jamu serta harapan para seniman terkait pengembangan dan pelestarian jamu untuk di masa yang akan datang. Harapannya, pelaksanaan festival ini dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga jamu sebagai salah satu produk kebudayaan tak benda kita.
Pengampu unit seni rupa Universitas Gadjah Mada yaitu Dr. drg. Ahmad Syaify, Sp.Perio (K)., mengapresiasi pihak penyelenggara mengajak Unit Seni Rupa UGM untuk berkolaborasi dalam pameran seni. Salah satu panitia yang hadir, M. Yusril Mirza, menjelaskan bahwa sebelum pembuatan karya seni dimulai, para seniman datang berkunjung ke kampung Gesikan, desa Merdikorejo, Kabupaten Sleman. Disini para seniman diajak untuk berkenalan dengan para perajin jamu supaya lebih mengenali lebih mendalam terkait jamu itu sendiri dan kemudian dapat membuat karya seni yang mencerminkan pengalaman mereka berinteraksi dengan pembuat jamu. “Secara konsep ada namanya Temui, Kenali, Ekspresi. Jadi temui perajin jamu dan kita langsung ke kampung Gesikan, Slemannya kemudian kenali. Nah, kenali itu kita kenalan dengan si perajin Jamu, gimana dinamikanya, gimana prosesnya, gimana cara pembuatan Jamunya, apa saja masalahnya, dan ekspresikan, ekspresinya adalah menghasilkan sebuah karya seni,” jelasnya.
Penulis : Hanif
Editor : Gusti Grehenson