
Menguatnya peran militer dan kepolisian dalam ruang publik dan pemerintahan sipil menjadi isu hangat yang terus diperbincangkan di tengah kalangan akademisi dan kelompok masyarakat sipil. Pasalnya, sejak disahkannya revisi UU TNI pada Maret lalu menunjukkan tanda-tanda kembalinya pengaruh militer dalam politik dan ruang sipil.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang tajuk “Kembalinya Sejarah Berseragam: Menggugat Negara Kemiliteran dan Kepolisian Republik Indonesia” pada Rabu (30/4) di Auditorium Mandiri Fisipol UGM. Diskusi yang diselenggarakan dari hasil kerja sama Departemen Sosiologi UGM, Departemen Sosiologi UI dan Social Research Center (SOREC) ini menghadirkan beberapa pembicara diantaranya Sosiolog UGM Dr. Arie Sujito sebagai pembicara kunci, lalu ada Dosen Politik dan Pemerintahan UGM Tapiheru Joash Elisha Stephen, Ph.D., Peneliti Lab 45 Dra. Jaleswari Pramodhawardani, M.Hum. M.Hum, Sosiolog UI Prof. Dr. Iwan Gardono S. dan Sosiolog UGM Najib Azca, Ph.D.
Wakil Dekan bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fisipol UGM, Prof. Dr. Poppy Sulistyaning Winanti mengingatkan bahwa walaupun saat ini RUU TNI sudah disetujui, tak berarti kritik pun harus terhenti terkait permasalahan ‘kembalinya seragam’ dalam arena sosial dan politik di negeri ini.
Arie Sujito mengingatkan kembali perjalanan reformasi Indonesia, khususnya perihal supremasi sipil atas militer pasca tahun 1998. Hal ini ditandai dengan penghapusan dwi fungsi ABRI, penarikan militer dari parlemen dan juga larangan berpolitik dan juga berbisnis bagi militer. “Pelarang TNI ini dan Polri untuk berbisnis karena sering terjadi abuse of power karena berdampak pada kemerosotan legitimasi institusi organisasi TNI dan Polri. Itu tidak boleh dilupakan,” pesannya.
Menurutnya, memburuknya demokrasi pasca reformasi terjadi karena reformasi pada sektor pertahanan dan keamanan secara parsial belum terwujud, bahkan mengalami kemandekan. “Tak hanya itu, pengaruh informal yang terus ada dan juga pengawasan sipil yang lemah pun menjadi faktor penyebabnya,” imbuhnya.
Bagi Arie, untuk menyelamatkan demokrasi diperlukan peran serta seluruh pihak untuk berpartisipasi di dalamnya sehingga peristiwa lampau tidak perlu terulang kembali. Ia pun berharap bahwa akademisi dan aktivis selalu berpikir, berbicara, dan bertindak untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia. “Ini PR bagi siapapun masyarakat sipil di Indonesia. Kita perlu jernih berpikir, tindakan aktif, emansipasi sosial, membangun konsolidasi politik yang solid, memperbaiki demokrasi Indonesia, agar tidak makin hancur. Sebaliknya wujudkan kembali demokrasi yang kuat dan bermakna,” pungkasnya.
Tapiheru Joash Elisha Stephen mengatakan reformasi hanya berhasil pada aspek kelembagaan saja, namun gagal dalam membangun legitimasi dan penghayatan warga negara terhadap nilai-nilai ke-public-annya. Public di sini adalah dengan menyadari perannya sebagai warga negara. Akibatnya, muncul masalah-masalah seperti remiliterisasi, lemahnya kontrol sipil, dan adanya normalisasi nepotisme politik. Ia pun menekankan bahwa, dengan memperkuat nilai-nilai kewargaan serta reposisi militer pada fungsi eksternal, Indonesia dapat mempertahankan demokrasi yang sehat. “Kalau mereka tidak menghayati ke-public-annya, itu artinya mereka juga tidak menghayati bahwa mereka memegang kedaulatan,” ucapnya.
Jaleswari Pramodhawardani atau Dani menyampaikan kekhawatirannya adanya gejala kemunduran demokrasi yang saat ini ditandai dengan kembalinya peran militer dan kepolisian dalam urusan sipil melalui revisi regulasi seperti UU TNI, Polri, dan juga ASN. Lebih lanjut, Dani menampilkan data bahwa publik justru menunjukkan tingkat kepuasan tinggi terhadap keamanan meski demokrasi menurun, yang justru dimanfaatkan elite untuk mendorong regulasi kontroversial. Selanjutnya, ia pun mengingatkan untuk melihat demokrasi tidak hanya sebagai suatu bentuk pemberian saja namun bentuk perjuangan yang panjang.
Sementara Iwan Gardono menegaskan reformasi memang berhasil memisahkan TNI dan Polri serta membatasi peran politik militer, namun lemahnya pengawasan publik, diskresi yang longgar, serta akuntabilitas yang rendah, dapat membuka celah penyalahgunaan kekuasaan. Menurutnya, partisipasi aktif masyarakat sipil dan akademisi menjadi kunci menjaga demokrasi tetap berjalan, bukan hanya di pusat, tapi juga hingga tingkat lokal.
Sedangkan Najib Azca menyoroti faktor kegagalan dalam mereformasi partai politik sebagai elemen utama demokrasi menjadi akar dari banyak permasalahan yang terjadi saat ini, termasuk mulusnya agenda-agenda kontroversial seperti revisi UU TNI dan Polri. Di sisi lain, masyarakat justru masih menerima militer dalam jabatan sipil, menunjukkan kuatnya budaya militerisme. Untuk itu, dibutuhkan penguatan warga negara (civil citizenship) dan reformasi politik jangka panjang guna melawan arus militerisasi dan menjaga kualitas demokrasi ke depan. “Jadi saya kira ini yang perlu kita respon dan ya mungkin meskipun agak klise, barangkali penguatan kewargaan demokratik itu menjadi agenda jangka panjang yang perlu terus-menerus dilakukan,” ujarnya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Disway.id