Merawat anggota keluarga yang sakit merupakan kewajiban bagi keluarga. Kebanyakan pasien dengan penyakit yang membatasi hidup, lebih memilih dirawat di rumah, dibantu oleh keluarganya sebagai pengasuh informal. Rasa tanggung jawab dalam merawat anggota keluarga yang sakit memberi peluang bagi pasien untuk mendapatkan perawatan di rumah dengan dukungan penuh anggota keluarga.
Staf pengajar Departemen Keperawatan Medikal-Bedah Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Prof. Dr. Christantie Effendy, SKp., M.Kes mengatakan pengasuh keluarga menghabiskan 24 jam sehari untuk merawat dan membantu pasien. Keluarga mempunyai peranan penting dalam mengatasi masalah dan pemenuhan kebutuhan pasien. Sayangnya tidak semua pengasuh keluarga merasa cukup siap menghadapi setiap masalah dalam merawat pasien.
“Permasalahan rumit yang terjadi pada pengasuh keluarga biasanya berkaitan dengan kesiapan mereka dalam merawat pasien. Berbagai penyebab ketidaksiapan keluarga antara lain karena belum berpengalaman merawat, kurang pengetahuan, sumber informasi terbatas, dukungan emosional, dan kesiapan lingkungan dan fasilitas di rumah,” ujarnya di ruang Balai Senat UGM, Selasa (23/1) saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada.
Menurut Christantie keberlanjutan perawatan pasien di rumah setelah pasien pulang dari rumah sakit sangat bergantung pada kesiapan keluarga dan perencanaan pasien pulang. Perawat merupakan elemen penting dalam perencanaan perawatan pasien di rumah.
Perawat hendaknya proaktif dalam menilai kesiapan setiap keluarga pengasuh untuk merawat dan mengatasi masalah dan kebutuhan pasien di rumah, serta dalam upaya meningkatkan kualitas hidup baik pasien itu sendiri maupun keluarga pengasuh.
“Perawat dapat meningkatkan kesiapan keluarga dalam perawatan pasien di rumah dengan cara memberikan diseminasi dan edukasi tentang tujuan dan manfaat perawatan paliatif berbasis rumah bagi pasien terutama dalam mengelola tanda dan gejala yang dialami pasien sebagai upaya meningkatkan kualitas hidup pasien,” ucapnya.
Di Indonesia, otonomi tidak sepenuhnya berada di tangan pasien tetapi berada di tangan keluarga. Karenanya pendekatan perawatan paliatif yang berfokus pada pasien saja belum dapat memfasilitasi konsep otonomi keluarga, sehingga pada perawatan paliatif di Indonesia pendekatan yang paling ideal adalah perawatan paliatif berfokus pada pasien dan keluarga.
“Sebagai contoh, pasien dengan kanker payudara mendapatkan penjelasan tentang kondisi penyakitnya dan diminta untuk mengambil keputusan terkait tindakan kemoterapi yang harus dilakukan, maka pasien tidak akan mengambil keputusan sendiri melainkan bergantung juga pada keputusan keluarga,” terangnya saat menyampaikan pidato Diseminasi Perawatan Paliatif Kepada Masyarakat Sebagai Langkah Awal Penerapan Perawatan Paliatif Berbasis Rumah.
Otonomi keluarga dapat diterapkan dengan baik dan berdampak positif pada pasien jika keluarga memahami prinsip dan tujuan perawatan paliatif. Hal ini hanya dapat terwujud jika masyarakat telah mendapatkan diseminasi dan edukasi tentang perawatan paliatif dengan baik.
Dengan adanya pemahaman masyarakat terkait perawatan paliatif, disebutnya, tentu akan membantu membangun mindset yang mendukung integrasi perawatan paliatif, serta memperkuat komunikasi antara berbagai disiplin dalam bidang kesehatan. Dengan merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, perawatan paliatif perlu didorong sebagai ‘new normal’ dalam sistem kesehatan Indonesia dan praktik sehari-hari tenaga kesehatan, terutama dalam menghadapi pasien penyakit tidak menular sejak awal diagnosis hingga kondisi akhir hayat.
Christantie mengakui hal ini tentunya membutuhkan waktu dan tahapan dalam penerapannya. Sebagai tenaga Kesehatan bisa memulainya sesegera mungkin agar semakin banyak pasien yang dapat mengakses perawatan paliatif lebih awal dan mendapatkan manfaat dari perawatan paliatif.
Dengan adanya diseminasi perawatan paliatif pada masyarakat diharapkan masyarakat yang dalam hal ini adalah keluarga pasien dapat memahami dan memaknai tujuan dan manfaat perawatan paliatif bagi pasien. Dengan demikian pada situasi dimana ada perbedaan pendapat dan keinginan antara pasien dan keluarga, maka keluarga dapat bersikap lebih bijak dalam menyikapi keinginan pasien dari kacamata yang berbeda, dan keluarga dapat melakukan pengambilan keputusan terbaik terkait perawatan pasien dan memahami konsekuensi dari setiap keputusan yang diambil.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto