
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang akan berlaku mulai pada tanggal 2 Januari 2026 saat ini tengah dibahas intensif oleh DPR dengan melibatkan partisipasi publik maupun akademisi. Pembahasan revisi RUU KUHAP ini diharapkan bisa menyelaraskan kekurangan yang ada di KUHAP sebelumnya dan bisa menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Sebab, draft RKUHAP yang ada ini dinilai cenderung menguatkan kewenangan penegak hukum tanpa adanya pembatasan yang jelas dalam hak pendampingan hukum serta keterbatasan akses advokat saat pemeriksaan awal, bisa memicu munculnya konflik dari berbagai pihak.
Dosen Fakultas Hukum UGM sekaligus salah satu tim penyusun KUHAP, Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, S.H., LL.M, menyatakan bahwa dalam menghadapi konflik kewenangan yang terjadi saat ini akan diberikan batasan-batasan yang lebih baik lagi. Sebagai contoh kewenangan, dalam melakukan penahanan, penangkapan, dan lain sebagainya harus melakukan izin ketua Pengadilan Negeri yang kemudian tetap diuji melalui peradilan. Hingga saat ini, revisi draft masih dilakukan secara mendalam agar menghasilkan KUHP yang adil dan mengutamakan Hak Asasi Manusia. “Masih akan dibahas lebih komprehensif dan spesifik sehingga kewenangan antara institusi semakin tegas, jelas, dan juga melindungi Hak Asasi Manusia,” jelasnya, Sebib (6/10).
Menurut Fatahillah, Hukum Acara Pidana itu idealnya menjamin adanya keadilan antara pelaku, korban, dan masyarakat sehingga keterlibatan partisipasi atau masukan dari berbagai pemangku kepentingan seperti masyarakat sipil, akademisi, serta pakar hukum menjadi sangat penting dalam proses penyusunan RKUHAP. “Kita ingin menentukan hubungan penyeimbang antara keseluruhan hak-hak tersebut,” sebutnya.
Selain itu, kehadiran RUU Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang direvisi ini memang harus menjamin akuntabilitas penyidik dan perlindungan HAM bagi pihak yang terlibat dalam proses hukum sesuai dengan fungsi masing-masing. “Jadi jangan sampai orang melakukan penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang sehingga tetap harus dapat diuji. Advokat harus diberikan kewenangan yang jauh lebih besar lagi dalam konteks mendampingi proses penegakkan hukum sehingga HAM dapat terjamin,” tambahnya.
Penulis: Jesi
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik