Peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) di Indonesia tahun 2023 dihadapkan pada kondisi iklim yang kurang menggembirakan. Kemunculan El Nino setelah tiga tahun fase La Nina menjadikan lonjakan suhu global terjadi di hampir semua wilayah sehingga meningkatkan risiko kekeringan serta kebakaran lahan di Indonesia.
Ancaman El Nino ini bukan hal yang baru dan Indonesia sudah beberapa kali mengalami. Seperti di tahun 2015, Indonesia juga mengalami fenomena ini yang mengakibatkan ratusan ribu lahan pertanian mengalami kekeringan.
Data Kementerian Pertanian mencatat tahun 2018 luas lahan yang terkena dampak dari gagal panen atau puso sebesar 20.269 hektare di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan penurunan produktivitas panen mencapai 20 persen. Data lain menyebutkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun dari tahun 1980 – 2010 memperlihatkan banyak terjadi permasalahan di pertanian diantaranya gagal panen atau puso dan penurunan produktivitas panen akibat dari ketidakpastian cuaca.
“Di Tahun 2023 ini ancaman El Nino menjadi lebih menyita perhatian masyarakat karena terkait ketahanan pangan di Indonesia. Kita masih ingat di awal tahun lalu kemudian di saat panen raya, kita masih kekurangan stok beras sehingga pemerintah masih harus melakukan impor,” ujar Bayu Dwi Apri Nugroho, S.T.P., M.Agr., Ph.D, di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Senin (16/10).
Bagi Bayu Dwi Apri Nugroho, memperingati Hari Pangan Se-dunia di tengah ancaman El Nino di tahun ini tentunya memunculkan rasa kekhawatiran masyarakat terkait stok beras yang ada. Pertanyaannya, apakah stok cukup di sepanjang fenomena El Nino?
Selain antisipasi dengan melakukan impor untuk menjamin ketersediaan stok pangan, menurut Bayu diperlukan peran serta masyarakat dalam menghadapi fenomena El Nino. Beberapa hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi fenomena El Nino diantaranya melakukan penghematan air. Dalam hal ini menggunakan air seperlunya dan apabila di beberapa daerah masih mengalami hujan disarankan untuk menyimpan air hujan sebagai persediaan.
Terkait prediksi cuaca masa depan secara nasional perlu disampaikan ke masyarakat hingga di level petani. Hal ini sangat penting agar menjadi pedoman bagi para petani dalam membuat jadwal tanam.
“Sehingga hal-hal terkait dengan gagal tanam maupun gagal panen dapat dihindari sehingga para petani bisa mempersiapkan varietas-varietas padi atau tanaman lain yang tahan terhadap kekeringan,” ucapnya.
Bayu mengungkapkan di tengah fenomena El Nino yang tidak diketahui kapan berahirnya perlu kiranya mendorong riset-riset baik itu di perguruan tinggi, lembaga riset pemerintah maupun swasta untuk menciptakan varietas-varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan atau tidak memerlukan air yang banyak untuk tumbuh. Baginya peranan penyuluh pertanian dan perangkat desa dalam mendampingi petani sangat diperlukan, terlebih di saat para petani beradaptasi dengan kekeringan di wilayahnya di saat melakukan budi daya.
“Bagaimanapun Fenomena El Nino ini berdampak dan berpengaruh terhadap ketahanan pangan karenanya diperlukan langkah-langkah adaptasi dan kita semua berharap ketahanan pangan di masyarakat tetap terjaga walaupun masih dalam ancaman fenomena ini,” terang pakar agroklimatologi dan ilmu lingkungan.
Dampak El Nino pada sektor pertanian, para peneliti dan akademisi sesungguhnya sudah menyampaikan terkait adaptasi dan mitigasi dampak El Nino di sektor pertanian seperti pemantauan cuaca secara intens, konservasi air, diversifikasi tanaman yang adaptif terhadap kekeringan, manajemen hama dan penyakit hingga penggunaan teknologi informasi.
Meski begitu, ada satu hal yang mungkin terlupa menyangkut sinergi antara petani dan penyuluh sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah. Berbagai solusi yang disampaikan di atas tidak akan berhasil apabila tidak ada sinergi dan kolaborasi yang intens antara petani dan penyuluh.
Menurut Bayu, peran aktif petani sangat dibutuhkan dalam adaptasi dan mitigasi dampak El Nino ini. Petani sebagai aktor utama dalam menghadapi El Nino sudah seharusnya mendapatkan edukasi terkait dengan fenomena El Nino. Selama literasi petani soal ini masih rendah maka tidak sedikit dari petani beranggapan hal ini sebagai fenomema biasa.
“Bisa jadi petani beranggapan hal ini biasa saja, hanya salah musim, dan akan segera normal. Padahal, mereka perlu diberi edukasi dan di sinilah peran penyuluh untuk memberikan edukasi,” paparnya.
Disamping edukasi, petani secara sederhana perlu diberikan pembelajaran dan mengamati perubahan kondisi yang ada di lahan secara harian. Melihat bagaimana kondisi harian di lahan, bagaimana fisiologis tanaman dan lain-lain. Fluktuasi dan perubahan-perubahan kondisi lingkungan dan tanaman ini nampaknya perlu dicatat secara sederhana atau diingat dan disampaikan ke penyuluh.
Diperlukan pula pertemuan rutin mingguan antara petani dan penyuluh sehingga diperoleh informasi dari masing-masing petani bagaimana kondisi di lahannya terkait dengan fenomena El Nino. Bagi petani hal ini tentunya akan menjadi lesson learned, bagaimana mereka melihat kondisi El Nino secara langsung dan bagaimana mencari solusi dengan mendengarkan masukan dan informasi pengetahuan dari penyuluh.
Sinergi dan kolaborasi petani dan penyuluh ini diharapkan menjadi suatu model adaptasi dan mitigasi secara langsung di masyarakat. Meskipun informasi El Nino melanda Indonesia secara menyeluruh, namun kondisi di masing-masing lahan atau daerah berbeda-beda. Oleh karena itu, diperlukan pengumpulan informasi yang berbeda-beda dari masing-masing lahan yang akan dijadikan dasar sebagai upaya solusi riil dalam menghadapi El Nino maupun fenomena iklim lainnya dimasa mendatang.
“Sinergi dan kolaborasi petani dan penyuluh ini diharapkan menjadi garda terdepan dalam meghadapi El Nino dan menjaga ketersediaan pangan tetap terjaga,”pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : freepik.com