Disinformasi dan algoritma media sosial menjadi faktor terbesar dalam membentuk opini publik di era digital. Tantangan yang dihadapi dunia pers saat ini bahkan jauh berbeda dari masa lalu. Jika dulu jurnalis menghadapi tekanan dalam bentuk sensor dan represi fisik, kini medan pertempuran bergeser ke ranah digital dengan tantangan berupa banjir informasi, disinformasi, serta bias algoritmik. Pers mahasiswa dan juga alumninya memiliki peran yang sangat krusial dalam menjaga etika, independensi, dan literasi digital sebagai cara untuk mempertahankan kemerdekaan berpikir di tengah derasnya arus teknologi agar tidak tergantikan oleh algoritma.
Hal itu mengemuka dalam Seminar ‘Disinformasi & Algoritma: Bagaimana Media Digital Membentuk Opini Publik,’ yang berlangsung di University Club UGM, Sabtu (2/11). Seminar nasional dalam rangka memperingati ulang tahun ke-40 Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM, menghadirkan beberapa pembicara, diantaranya Dia Mawesti selaku Ketua Kagama Persma, Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Dr. Abdul Gaffar Karim, Asia Pacific Visual and Data Journalist BBC News, Aghnia Adzkia, Direktur Eksekutif Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Elin Y Kristanti, anggota Komite Independen Publisher Right, Fransiskus Surdiarsis.
Dia Mawesti mengatakan teknologi algoritma media sosial dan portal berita memengaruhi cara masyarakat memahami isu publik. Menurutnya, algoritma media sosial kini tidak hanya berperan sebagai alat penyebar informasi, tetapi juga menjadi aktor yang menentukan isu apa yang dianggap penting oleh publik dan mana yang dilupakan. “Teknologi, khususnya algoritma, tidak hanya menjadi sebuah alat, melainkan ‘aktor’ yang sangat berperan dalam membentuk opini publik dan persepsi masyarakat, bahkan menentukan isu apa yang dianggap penting dan apa yang dilupakan,” ujarnya.
Ia menilai tantangan yang dihadapi dunia pers saat ini jauh berbeda dari masa lalu. Jika dulu jurnalis menghadapi tekanan dalam bentuk sensor dan represi fisik, kini medan pertempuran bergeser ke ranah digital dengan tantangan berupa banjir informasi, disinformasi, serta bias algoritmik. “Kita tidak lagi hanya berhadapan dengan sensor dan tekanan fisik seperti yang dialami aktivis pers mahasiswa 30-40 tahun lalu. Sekarang, kita juga harus berhadapan dengan disinformasi, algoritma media sosial, dan bias digital yang membentuk cara masyarakat memahami realitas,” jelasnya.
Dalam peringatan empat dekade BPPM Balairung ini, Dia mengingatkan kepada peserta yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, alumni UGM, jurnalis dan sejumlah pegiat media di Yogyakarta tentang pentingnya kembali ke akar idealisme pers mahasiswa sebagai ruang dialektika dan penjaga nurani publik. “Keberadaan lembaga pers mahasiswa menjadi benteng terakhir dalam menjaga objektivitas di tengah arus manipulasi digital,” paparnya.
Abdul Gaffar Karim menyoroti dampak disinformasi terhadap kualitas demokrasi modern. Menurutnya, keberadaan disinformasi ternyata berkontribusi besar terhadap penurunan kualitas demokrasi. Sejumlah literatur ilmu politik banyak mengeluhkan penurunan kualitas demokrasi modern yang salah satunya akibat dari keberadaan disinformasi. “Kondisi ini semakin parah karena terkesan dibiarkan hingga dipelihara oleh aristokrat. Tujuan utamanya tentu saja agar pengaruh kelompok ini dalam kekuasaan tidak terganggu. Isu-isu soal rendahnya tingkat kepercayaan terhadap lembaga negara memang dibuat oleh aristokrat untuk melanggengkan kekuasaannya,” jelas Gaffar.
Sementara Aghnia Adzkia, mengungkapkan pengaruh AI dalam perkembangan disinformasi. Dia mengakui AI memang membawa dampak positif dalam banyak hal namun sekaligus mengandung sejumlah hal negatif. “AI memang sangat memudahkan dalam pekerjaan, namun juga membawa hal-hal yang mengkhawatirkan. Dibutuhkan kolaborasi dari semua pihak mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan AI dalam reproduksi disinformasi,” kata dia.
Sedangkan Elin Y Kristanti, memaparkan dampak buruk kehadiran digitalisasi terhadap perkembangan media massa. Menurut Elin, digitalisasi memang menghadirkan keterbukaan terhadap informasi secara lebih luas namun sekaligus menggerus tingkat kepercayaan publik terhadap informasi yang disajikan oleh media massa. “Saat ini digitalisasi tidak lagi membuat pembaca membutuhkan informasi dari media. Media harus ada untuk mengawal demokrasi. Tidak bisa kita menyerahkan demokrasi kepada netizen,” ujarnya.
Anggota Komite Independen Publisher Right, Fransiskus Surdiarsis, menyoroti platform AI yang tidak bertanggung jawab khususnya bagi keberadaan perusahaan media. Konten media, menurutnya, sering digunakan untuk memberi makan AI tapi tanpa sebuah kompensasi. Ia menjelaskan bahwa kondisi tersebut berbahaya bagi keberlangsungan ekosistem media. Perlu ada regulasi yang ketat untuk memaksa platform AI memenuhi tanggung jawabnya terhadap media. “AI juga memiliki peran besar pada peredaran disinformasi. Kehadiran AI ternyata membuat produksi disinformasi meningkat berlipat-lipat. Makin ke sini, informasi yang beredar makin banyak mengandung unsur kebohongan,” ujar Fransiskus.
Empat puluh tahun perjalanan BPPM Balairung bukan sekadar menandai usia sebuah lembaga pers mahasiswa, melainkan menjadi saksi hidup perjalanan intelektual, idealisme, dan semangat kritis mahasiswa dari masa ke masa. Melalui seminar ini, peran pers mahasiswa dan juga alumninya menjadi sangat krusial dalam menjaga etika, independensi, dan literasi digital sebagai cara untuk mempertahankan kemerdekaan berpikir di tengah derasnya arus teknologi agar tidak tergantikan oleh algoritma.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan, Pengabdian Masyarakat, dan Alumni, Arie Sujito, turut menyinggung tentang peran pers mahasiswa saat ini. Dia menyebut persma masih memiliki peran yang relevan dalam menyuarakan kebebasan berpendapat terutama di tengah era disinformasi dan gempuran artificial intelligence (AI) yang saat ini terjadi. “Keberadaan persma memiliki babaknya masing-masing di tiap masa. Hal itu menyesuaikan dengan masa di mana persma hidup, terlebih di tengah gempuran disinformasi seperti sekarang. Tetapi jauh lebih penting adalah apa yang telah dikerjakan (persma) bisa menginspirasi generasi saat ini,” ujarnya.
Arie menekankan bahwa dialog lintas generasi untuk membantu memecahkan masalah sangatlah penting. Salah satu peran pers mahasiswa yang masih sangat relevan adalah membuka ruang-ruang diskusi sebagai dimensi kritis mahasiswa dimana hal tersebut berdampak pada kebebasan berbicara. Relevansi tersebut semakin menemukan nilainya di saat ruang kebebasan itu terbuka lebar namun tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Membicarakan kebebasan bersuara masih sangat relevan hingga saat ini. Ruang seminar ini akan sangat bermanfaat jika anak-anak muda semakin membuka diri. Kebebasan ruang yang semakin terbuka lebar saya harap ini bisa dimanfaatkan dengan baik,” tegas Arie.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Salwa
