World Suicide Prevention Day diperingati setiap 10 September oleh seluruh dunia. Peringatan ini ditujukan untuk memperkuat komitmen bersama dalam mencegah segala bentuk upaya bunuh diri. World Health Organization (WHO) mencatat terdapat lebih dari 720.000 kasus kematian akibat bunuh diri setiap tahunnya. Jumlah tersebut menjadikan bunuh diri sebagai penyebab mortalitas tertinggi pada usia 18-29 tahun. Faktor penyebabnya bisa berasal dari orang terdekat, lingkungan sekitar, bahkan tekanan diri sendiri.
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, dr. Imran Pambudi, MPHM menuturkan, terdapat setidaknya lima klasifikasi pemicu kemauan untuk bunuh diri. “Faktor lingkungan sosial, kesehatan, hubungan dengan orang lain, dan faktor dirinya. Contohnya ada masalah kesehatan jiwa, apakah dia peminum, misalnya ada kesulitan keuangan, rasa sakit kronis, jadi bisa datang dari mana saja,” ujar Imran dalam webinar “Pencegahan Bunuh Diri Berbasis Kampus” yang diselenggarakan oleh Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi UGM, Selasa (10/9).
Pemerintah telah berupaya menyusun kerangka kerja untuk mencegah peningkatan kasus bunuh diri. Upaya tersebut dituangkan dalam empat hal utama, yakni pencegahan faktor resiko, pencegahan upaya menyakiti diri sendiri, pencegahan upaya bunuh diri, dan suicide registry atau pelaporan bunuh diri.
Kampus UGM sendiri telah berkomitmen sebagai salah satu Health Promoting University (HPU), termasuk dalam menjaga kesehatan jiwa. Lingkungan kampus sampai metode pembelajaran di UGM dirancang dengan memperhatikan aspek-aspek intelektual dan keamanan dalam belajar. Terdapat lima dasar kerangka HPU yang telah dicanangkan. Kelimanya adalah menciptakan ruang kerja yang sehat dan suportif, mengembangkan kurikulum dan riset kesehatan jiwa, berperan secara aktif di masyarakat dalam mempromosikan kesehatan jiwa, mewujudkan lingkungan berbasis HPU, dan terwujudkan kesehatan pelajar, individu, dan pengembangan diri. “Dibutuhkan suatu lingkungan yang suportif. Memberikan lingkungan yang aman, dan rasa saling percaya satu sama lain. Dibutuhkan juga profesionalitas dari sivitas akademika. Itu semua diwujudkan dalam komitmen bersama,” jelas anggota HPU UGM sekaligus dosen FK-KMK UGM dr. Yunita Widyastuti, Sp.An., Ph.D.
Selain itu, kata Yuni, upaya UGM dalam menekan resiko upaya bunuh diri juga dilakukan dari tahapan screening. Setiap sivitas akademika diberikan pemahaman akan kesehatan jiwa bagi dirinya dan lingkungan sekitar. Lingkungan yang sehat, nantinya akan menghasilkan individu dengan kesadaran akan kesehatan yang tinggi. Social-Ecological Suicide Prevention Program (SESPP) secara khusus merancang sistem preventif upaya bunuh diri berbasis lingkungan sosial. Dalam sistem tersebut, terdapat upaya-upaya peningkatan kesadaran kesehatan jiwa dari tahap individu, hubungan, kelompok, hingga masyarakat.
Diana Setyawati Ph.D., Kepala Center for Public Mental Health (CPMH), menuturkan diperlukan adanya literasi dan kebijakan kesehatan jiwa dalam mewujudkan kampus sejahtera. “Kita sudah memiliki SOP untuk konseling, bahkan sekarang sudah dibantu oleh bot ya. Ada layanan konseling dengan dosen dan sebaya, serta menyediakan rujukan ke RSA,” jelas Diana.
Ia menyebutkan setiap fakultas di UGM saat ini sudah menyediakan unit konseling sebagai promosi kesehatan jiwa sekaligus upaya preventif resiko bunuh diri. Bahkan UGM juga menyediakan layanan hotline pencegahan bunuh diri bagi siapapun yang melihat atau melakukan upaya-upaya menyakiti diri sendiri bernama “Mental Health Emergency Response Line”. Layanan ini dapat diakses oleh seluruh sivitas akademika UGM, serta bekerja sama dengan Gadjah Mada Medical Center (GMC) dan RSA UGM. Individu akan langsung mendapat pendampingan dan penanganan secara berkelanjutan.
Menurut Ketua Satuan Tugas Kesehatan Mental UGM, Restu Tri Handoyo, Ph.D, upaya pencegahan bunuh diri memang harus diterapkan sedini mungkin. “Selain layanan hotline, kita juga melakukan screening ke mahasiswa apakah ada resiko-resiko yang kemungkinan menyebabkan seseorang masuk ke tahap crisis atau tahap paling mendekati upaya bunuh diri,” tutur Restu.
Komitmen bersama menjaga kesehatan jiwa bisa dimulai dari pengelolaan diri sendiri dan lingkungan yang mendukung. Upaya UGM dalam menciptakan ruang belajar yang aman dan nyaman tidak hanya diperuntukkan bagi mahasiswa, namun juga merupakan bentuk promosi kesehatan jiwa pada masyarakat luas. Harapannya, dengan komitmen tersebut, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa akan membuahkan masyarakat yang inklusif, aktif, dan suportif terhadap satu sama lain.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik