Pojok Bulaksumur kembali hadir menghiasi diskusi dengan para Wartawan Universitas Gadjah Mada. Digelar dihari Jumat (21/7) dengan topik Literasi Digital Bagi Pemilih Pemula Menghadapi Pemilu 2024, Pojok Bulaksumur menghadirkan pembicara Arga Pribadi Imawan, S.I.P., M.A , dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM dan Agung Nugraha, manager riset di CfDS FISIPOL UGM.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI menetapkan 204.807.222 warga negara sebagai pemilih atau masuk Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024. Menariknya, separuh lebih pemilih adalah anak muda, yakni generasi Z dan milenial (Republika 3/7). Melihat data tersebut menjadikan informasi melalui media sosial sangat berarti bagi generazi Z dan milenial sebagai bagian dari pendidikan politik.
Bagi Agung Nugraha bonus demografi yang akan dialami Indonesia dalam Pemilu 2024, selain menjadi kesempatan besar untuk pengembangan di bidang digital, di sisi lain tidak sedikit dari mereka generasi milenial dan gen Z juga menjadi korban negatif dari berbagai konten negatif dan kejahatan cyber.
Bahkan, kondisi tersebut tidak sedikit dialami dari mereka yang nota bene berasal dari generasi yang masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Minimnya tingkat literasi diduga menjadi penyebab. Oleh karena itu, CfDS UGM mengajak Kominfo untuk mengadakan pelatihan guna mengenali berbagai persoalan, seperti persoalan hoax bagaimana menangkalnya.
“Pemerintah saya kira tidak bisa sendirian mengatasi karena tiap bulannya muncul ratusan hoax,” ujarnya.
Dia memperkirakan mendekati pelaksanaan pemilu terkait hoax akan semakin meningkat dan terus dipelihara oleh orang-orang yang memiliki kepentingan khusus. Untuk itu, katanya, perlu dibangun inisiatif dari bawah untuk mengatasi.
Dia menyampaikan berdasar data Litbang Kompas beberapa waktu lalu Gen Z yang berumur antara 16-26 tahun ketika ditanya akan memilih siapa antara Prabowo, Ganjar dan Anis didapat jawaban sekitar 32 persen mereka memilih Prabowo. Disebutkan Persona Prabowo, dalam pandangan Gen Z dan milenial sudah berubah, Prabowo dinilai memiliki ketegasan namun bisa dekat dengan mereka.
Alasan tersebut, menurut Agung Nugraha, cukup bisa dimengerti. Generasi Z dan milenial tidak mengalami kejadian reformasi 1998 dan itu menjadikan preferensi politik mereka tidak melihat jauh ke belakang. Bagi Milenial dan Gen Z isu HAM tidak lagi menjadi penting. Para generasi Z dan milenial melihat politik ke depan adalah persoalan seperti digital, lingkungan dan perubahan iklim, dan ekonomi.
“Tergantung juga sih dari literasi yang mereka miliki. Di sini begitu berartinya upaya menavigasikan diri di ruang-ruang digital untuk menangkal hoax, disinformasi yang mulai bermunculan, dan bisa dimulai dengan mengedukasi kepada keluarga,” terangnya.
Arga Pribadi Imawan menyatakan melihat perilaku politik maka kalkulasi para kandidat masih mengarah pada isu-isu politik identitas. Menurutnya, isu-isu semacam itu masih akan tetap dibawa, sedangkan isu-isu terkait politik programatik atau politik yang mengedepankan program kerja tersingkirkan.
Baginya kondisi ini membawa pada ruang perdebatan secara terbuka. Polarisasi sebagai wujud pembangunan demokrasi sudah sewajarnya menghadirkan oposisi. Menurutnya, tanpa oposisi atau tanpa ada yang berseberangan dengan pemerintah maka demokrasi ini tidak berjalan.
“Menyitir salah satu ilmuwan dari AS, polarisasi di Indonesia baik sebagai momentum kesehatan demokrasi di Indonesia ke depannya, karena kalau misal melihat ke masa-masa orde baru, kebebasan berekspresi, kebebasan apapun terkekang, semua orang akan menjadi monopolitik,” katanya.
Untuk itu, katanya, penting membangun politik cerdas di masayarakat. Politik yang tidak digerakkan dengan isu-isu politik uang, terkait suku dan lain-lain tetapi secara rasional dan secara sosiologis dan ekonomi bisa memilih dengan rasionalitasnya sendiri.
“Meski hingga sejauh ini terkait dengan pemilih cerdas ini belum ada definisi bakunya,” papar Arga Imawan.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto