Pojok Bulaksumur UGM kembali hadir di tengah bulan puasa. Digelar menjelang buka puasa, Pojok Bulaksumur kali ini mengangkat tema Refleksi Pemilu 2024 dengan menghadirkan tiga narasumber yaitu Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB), Arga Pribadi Imawan, S.IP., M.A, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), dan Dr. Hendry Julian Noor., S.H., M.Kn, dosen Fakultas Hukum (FH).
Arga Pribadi Imawan menanggapi Pemilu 2024 menyatakan semakin besar peran media sosial (medsos) dalam kampanye politik ke depan sangat diharapkan bagi penyelenggara pemilu untuk mengaturnya secara lebih detail dan ketat. Dia menyebut Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu dinilai kurang memberi porsi pada hal tersebut.
Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, menurutnya belum mengatur secara khusus terkait konten kampanye politik di medsos. Padahal konten politik yang beredar di medsos tidak sedikit yang bersifat merusak.
“Semisal hoaks, disinformasi, hingga unggahan yang mendiskreditkan calon lain. Hal-hal ini rentan memunculkan konflik horizontal di masyarakat,” katanya di Selasar Barat Gedung Pusat UGM, Jum’at (22/3).
Sudah semestinya, menurutnya, fenomena semacam ini dapat dikontrol oleh KPU, Bawaslu, dan DKPP sebagai stakeholder pemilu melalui sebuah regulasi. Fenomena ini, baginya menjadi celah yang bisa dimanfaatkan oleh lembaga penyelenggara pemilu untuk mengatur.
“Pengaturan terhadap hashtag meski sifatnya sangat teknis sekalipun, tapi itu harus dilakukan,” ujarnya.
Arga berpendapat seiring dengan tingginya pengguna medsos di Indonesia, bahkan masuk lima besar dunia pengguna Instagram maupun Twitter maka medsos makin menjadi ruang efektif untuk kampanye pada pemilu di masa mendatang.
Rijadh Djatu Winardi menyoroti transparansi terkait pendanaan kampanye melalui medsos, ia juga berharap ada pengaturan lebih lanjut mengenai hal ini. Sebagai dosen FEB UGM yang mendalami akuntansi forensik, ia menyatakan format pelaporan dana kampanye seperti sekarang tak rinci, hanya berisi agregat pendapatan dan pengeluaran.
”Hal ini tentu membuat publik susah mencermati pengeluaran-pengeluaran tertentu, termasuk dana yang dihabiskan untuk kampanye di medsos,” katanya.
Sementara itu, Hendry Julian Noor mengatakan kualitas Pemilu 2024 jika dilihat dari segi hukum sebenarnya kesalahan lebih banyak terjadi pada saat pra-pemilu. Kesalahan pada awal inilah yang menjadikan efek lanjutan pada proses pelaksanaannya.
“Kesadaran soal etika dan konflik kepentingan menjadi salah satu masalah besar yang dianggap lumrah. Hal ini ditakutkan akan menjadi sebuah pola yang bisa saja terjadi ke depannya,” ungkapnya.
Penulis: Agung Nugroho
Foto: Firsto