Komunikasi merupakan elemen penting dalam pemerintahan terutama untuk mengelola persepsi publik terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah. Penguasaan strategi komunikasi yang efektif sangat diperlukan untuk memastikan pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh publik. Namun begitu, kemampuan untuk mendengarkan aspirasi, kritik dan masukan dari publik juga perlu mendapat perhatian agar program yang dijalankan menjadi selaras dan bermanfaat untuk kepentingan publik.
Hal itu mengemuka dalam diskusi panel bertajuk ‘Kebijakan dan Strategi Komunikasi Presiden RI’ di Fisipol UGM, Rabu (11/12) silam. Diskusi yang yang diselenggarakan Election Corner Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol) UGM ini Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan atau Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbih dan dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.IP., M.A, .
Hasan menjelaskan PCO merupakan lembaga non-struktural yang tidak berada di bawah koordinasi Menteri Koordinator tetapi memberikan laporan langsung kepada Presiden dan bertanggung jawab penuh atas segala bentuk komunikasi kepresidenan. Untuk pemerintahan Presiden Prabowo, fokus komunikasi strategis disimbolkan dengan angka 8-17-8 yang diartikan dengan 8 astacita, 17 program prioritas, dan 8 program hasil terbaik cepat. “Sebenarnya kami lebih ke kantor yang menyampaikan apa capaian pemerintah, progress dari janji-janji pemerintah sudah sampai mana, program prioritas apa yang sudah dilakukan, nanti targetnya kapan selesai, walau tidak bisa menghindar juga jika ditanyakan hal-hal lain,” jelas Hasan Nasbi, Kepala PCO di Kabinet Merah Putih.
Hasan juga menyadari adanya kritik dari masyarakat menyoal kemungkinan tumpang tindih peran antara lembaga yang ia pimpin dengan kementerian dan lembaga lain seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kantor Staf Presiden, dan Sekretariat Negara yang selama ini juga menangani komunikasi pemerintah. Namun ia menekankan bahwa telah ada pembagian tugas yang jelas dan SOP yang tegas untuk membantu menghindari miskomunikasi. “PCO membawa harapan besar bagi harmonisasi kerja komunikasi kementerian dan lembaga ke depannya agar tidak ada lagi informasi yang blunder,” tutupnya.
Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, S.IP., M.A, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan, menanggapi uraian Hasan Nasbi dengan mengungkapkan bahwa alih-alih memperbanyak juru bicara, Indonesia sebetulnya lebih membutuhkan juru dengar. Hal ini berdasar pada Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2024 yang mejadi landasan kerja PCO. “Kalau misal kita lihat ini kan ada 11 Bab, 53 Pasal, tapi tidak ada satu pun istilah atau pernyataan tentang mendengarkan, padahal pola komunikasi itu perlu aktor, artinya ada yang menyampaikan, ada yang berbicara, ada yang mendengarkan,” ungkap Alfath.
Ia melanjutkan, jika dilihat dari grand design Perpres tersebut, dapat diartikan bahwa pemerintah merasa digdaya pada saat pembentukan kelembagaan PCO sebagai pusat dari informasi, terutama untuk kebijakan-kebijakan strategis. Alfath khawatir PCO akan menjadi lembaga yang kedap dari aspirasi dan juga masukan-masukan publik.
Alfath lalu menyampaikan masukan untuk memunculkan urgensi juru dengar dengan membangun dialog bersama masyarakat. Hal ini jelas untuk membangun legitimasi pemerintah, trust atau kepercayaan publik dan juga engagement atau keterlibatan dan partisipasi publik. Lalu, terkait dengan pelaku, hal ini lebih kepada bagaimana PCO memenuhi syarat untuk melakukan dialog dengan masyarakat, aktor atau siapa yang akan ditunjuk. “Jadi siapa yang akan melakukan dialog? Bisa jadi presiden langsung, atau menterinya, bisa juga juru bicaranya, atau bahkan mungkin ke depan ada, tuh, yang namanya juru dengar tadi,” jelas Alfath.
Ia menekankan pentingnya untuk mendengar aspirasi dari kelompok rentan seperti petani, nelayan, korban penggusuran, dan kelompok teralienasi lainnya.
Selain itu, ia menyinggung perihal komunikasi yang tidak detail. PCO harus lebih concern terkait penulisan, serta pemilihan bentuk dialog publik, apakah akan dikemas secara hangat dan dekat melalui diskusi terbuka atau melalui siaran massa, siaran media sosial, serta media lainnya. “Nah, kalau tools-nya, kita cukup melihat gejala yang sederhana, ada indikasi bahwa pemerintah ini kurang engage, ada indikasi di situ, kalau tidak viral, tidak akan dapat keadilan,” ungkapnya.
Ia menyayangkan banyak kasus yang harus diviralkan terlebih dahulu baru kemudian akan terusut tuntas. Sebuah ironi di kala masyarakat harus menyampaikan petisi melalui change.org, instastory, dan snapgram agar pemerintah mendapatkan tekanan publik dan mau menilik beragam kasus di negeri ini. “Gejala ini, harus segera dibenahi,” katanya.
Yang tidak kalah penting, Alfath menawarkan solusi yang bisa dilakukan oleh PCO, yakni melakukan komunikasi dua arah. Sebab, komunikasi tidak bisa hanya mengandalkan pemberi pesan kepada audiens saja. Menurutnya, audiens juga bisa memberikan pesan kepada mereka yang punya mandat atau otoritas untuk mengembangkan kebijakan. Percakapan atau dialog dalam konteks yang hangat bisa dilakukan di kantong-kantong kegelisahan masyarakat, seperti di pasar tradisional. “Di sana kita jadi bisa mendengarkan keluhan kenapa pasar sepi, kenapa pendapatan turun dari tahun ke tahun, karena pedagang itu saya yakin tidak nyari kaya atau untung, mereka hanya mencoba bertahan hidup saja,” jelasnya.
Menurut Alfath, dengan mendatangi kelompok-kelompok yang dianggap sangat lemah, mereka akan merasa jika negara hadir di tengah masyarakat dan negara bisa mendengarkan. Kemudian juru dengar ini akan memfasilitasi hubungan antara pengambil keputusan dengan opini publik. Poin utama dari komunikasi dua arah ini berkaitan dengan voice of voiceless, bagaimana PCO berperan untuk menyuarakan masyarakat yang selama ini mungkin tidak bisa mengakses atau tidak punya jalur komunikasi ke pemerintah atau pejabat. “Nah dengan poin-poin seperti ini, saya kira aspirasi publik jauh bisa diterima sehingga pada akhirnya kita bisa memperkuat voice, bukan noise,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Donnie