Bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat yang terjadi sejak akhir November lalu masih menyisakan dampak bagi masyarakat. Hingga Kamis (4/12), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sebanyak 776 korban meninggal dunia dan 564 orang masih hilang akibat bencana. Meskipun mendapat desakan dari masyarakat, namun hingga kini pemerintah belum menetapkan bencana di wilayah Sumatra sebagai bencana nasional.
Menanggapi hal tersebut, Tenaga Ahli di Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Prof. Djati Mardiatno, S.Si., M.Si., menegaskan bahwa penetapan status bencana nasional perlu mengikuti mekanisme hierarkis, tidak hanya sebatas pada melihat jumlah korban jiwa atau luasan dampak bencana. Ia menjelaskan ketika bencana terjadi, perangkat daerah seperti Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menjadi pihak pertama yang bertanggung jawab. Selama pemerintah daerah masih dapat menjalankan fungsinya untuk melakukan penanganan dan koordinasi pada pihak terkait, status bencana nasional belum perlu diterapkan. “Ada mekanisme dan kriteria teknis, kelembagaan, dan koordinasi pemerintahan yang harus dipenuhi. Selama daerah masih mampu menangani itu tidak masalah. Pemerintah daerah adalah garda terdepan,” ujarnya saat diwawancarai, Kamis (4/12).
Ia menyebut bahwa eskalasi status dapat dilakukan apabila pemerintah kabupaten atau kota sudah tidak mampu menangani dampak bencana. Proses eskalasi status bencana dilakukan melalui pernyataan resmi dari kepala daerah kepada pemerintah tingkat provinsi. Jika pemerintah provinsi juga tidak mampu dalam menangani bencana dan telah menyatakan kondisi darurat, barulah pemerintah pusat dapat mengambil alih penanganan bencana. “Sebelum naik tingkat, daerah harus terlebih dulu menetapkan status darurat. Baru kemudian provinsi, lalu sampailah ke pusat apabila memang daerah sudah tidak sanggup,” ujarnya.
Ia menilai, keputusan untuk tidak segera menetapkan status bencana nasional bertujuan untuk menghindari kelumpuhan birokrasi daerah. Apabila kewenangan dalam menangani kasus bencana langsung dipusatkan, perangkat daerah selaku pihak yang berwenang dan paham menganalisis kebutuhan daerahnya malah dikhawatirkan tidak dapat berfungsi secara optimal dalam penanganan teknis di lapangan. “Kalaupun ditetapkan sebagai bencana nasional, lalu untuk apa? Di daerah sebenarnya mereka masih mampu melakukan pencarian, pertolongan, hingga evakuasi. Tapi ketika status langsung ditarik ke pusat, semua tim dari pusat datang, sementara daerah yang masih bisa bekerja justru tidak diberi ruang,” jelasnya.
Menanggapi persoalan alokasi anggaran pada penanggulangan bencana, ia menilai bahwa penataan anggaran kebencanaan harus diarahkan pada penguatan upaya pencegahan dan mitigasi, bukan hanya pada fase tanggap darurat maupun pemulihan. Ia menambahkan bahwa investasi pada pencegahan justru memiliki tingkat efisiensi tinggi daripada menanggung beban pemulihan setelah bencana terjadi. Adanya pemotongan anggaran berpotensi menghilangkan program yang seharusnya memperkuat mitigasi, termasuk edukasi publik, pemetaan daerah rawan, pengembangan sistem peringatan dini, serta penyediaan sumber daya dalam menunjang evakuasi. “Sebetulnya anggaran penanggulangan bencana itu minimal harus disiapkan satu persen dari total anggaran. Dan proporsi terbesar seharusnya bukan di darurat atau pasca bencana, tetapi di pra bencana,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa anggaran kebencanaan tidak hanya ada pada BNPB atau BPBD, tetapi juga tersebar di berbagai lembaga, kementerian, hingga organisasi tingkat daerah. Oleh karena itu, menurutnya setiap wilayah wajib memiliki dokumen Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) agar perhitungan anggaran, dan pembagian peran dapat dilakukan secara jelas dan efisien. Ia menekankan perlunya melibatkan berbagai pihak dari mulai masyarakat serta sektor swasta dalam skema penanggulangan bencana jangka panjang.
Ia menilai, rangkaian kejadian siklon tropis dalam sepuluh tahun terakhir ini seharusnya menjadi sinyal penting bagi Indonesia untuk meningkatkan kesiapsiagaan hidrometeorologi. Karena itu, menurutnya, kesiapsiagaan daerah menjadi faktor utama dalam meminimalkan dampak bencana. Ia menyoroti bahwa peringatan dini dari BMKG sebenarnya sudah diterbitkan sebelum bencana terjadi, namun belum diikuti dengan respons sistematis dari pemerintah daerah. Oleh sebab itu, ia menegaskan bahwa kesiapsiagaan bencana tidak boleh bergantung pada jenis bahaya semata, melainkan bagaimana kesiapan sistem respon daerah yang aktif dalam menindaklanjuti peringatan dini. “Yang perlu dipastikan adalah kesiapan daerah dalam merespon peringatan dini. Bukan hanya memiliki rencana kontingensi, tetapi juga benar-benar mengaktifkannya,” pungkasnya.Penulis : Cyntia NOviana
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Antara
