
Organisasi Pangan dan Pertanian Internasional (FAO) dalam laporan terbarunya Food Outlook Biannual Report on Global Food Markets pada bulan Juni 2025 lalu, memproyeksikan bahwa produksi beras Indonesia akan mencapai 35,6 juta ton pada musim tanam 2025/2026. Menanggapi prediksi ini, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Prof. Subejo menilai capaian tersebut merupakan sinyal positif, namun tetap membutuhkan strategi jangka panjang berbasis sains dan teknologi.“Tingginya produksi tahun ini disebabkan oleh sejumlah faktor, termasuk iklim yang relatif kondusif. Dua tahun sebelumnya, hujan bahkan baru datang pada Februari. Tapi tahun ini, curah hujan cukup sejak akhir tahun, sehingga luas lahan yang dapat ditanami meningkat,” ujarnya, Kamis (10/7) di kampus UGM.
Guru Besar dalam bidang Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, ini melihat bahwa dalam data produksi beras dari 2019 hingga Mei 2024, tahun ini termasuk yang tertinggi dalam tujuh tahun terakhir. Meskipun bila dibandingkan dengan 2018, sebenarnya produksi saat itu masih lebih tinggi. Selain faktor iklim, dalam hal ini kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen sebesar Rp6.500 per kilogram turut memberikan insentif ekonomi bagi petani untuk meningkatkan produksi. Harga yang stabil dan adanya jaminan penyerapan hasil panen oleh Bulog menciptakan rasa aman bagi petani dalam mengelola usaha tani mereka. “Kepastian harga juga mengurangi fluktuasi pasar yang sebelumnya seringkali merugikan petani ketika harga gabah anjlok saat panen raya,” ujarnya.
Meski begitu, kebijakan HPP ini juga menimbulkan tantangan baru di sisi hilir. Kenaikan harga gabah berdampak langsung pada harga beras di pasar. Dengan bahan baku yang semakin mahal, harga beras eceran mengalami kenaikan di beberapa wilayah. Ini menimbulkan kekhawatiran akan daya beli konsumen, terutama kelompok masyarakat berpendapatan rendah atau kelompok rumah tangga miskin. “Harga gabah yang tinggi memang menguntungkan petani, tapi otomatis akan memicu kenaikan harga beras di pasar. Ini hukum ekonomi. Jika tidak diintervensi lewat efisiensi proses pengolahan, harga beras bisa melonjak hingga melampaui harga eceran tertinggi,” jelasnya.
Menurut Subejo, efisiensi dan inovasi teknologi pada tahap pasca panen menjadi sangat penting. Penggunaan teknologi modern dalam proses pengeringan, penggilingan, dan distribusi beras diharapkan dapat menekan biaya produksi akhir. Mekanisasi pertanian dan introduksi smart farming, seperti penggunaan mesin pengering dan penggilingan berteknologi tinggi, dapat meningkatkan kualitas beras sekaligus menurunkan tingkat kehilangan hasil. Selain itu, ia mengatakan, inovasi seperti pengering bertenaga surya atau sistem pengolahan berbasis energi terbarukan dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menekan biaya operasional secara signifikan.
Lebih lanjut, Subejo menjelaskan bahwa meski mengalami peningkatan volume produksi sebesar 4,5 persen, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal produktivitas lahan. Produktivitas rata-rata nasional masih berada di kisaran 5,2 ton per hektar, tertinggal dari negara-negara seperti Vietnam dan Thailand yang sudah mencapai 6 ton per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki ruang untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas sistem budidaya padi. “Selain penyediaan air yang memadai secara terus menerus, tentu nanti memilih jenis padi yang sesuai, mendampingi teknis produksi, kemudian memilih misalnya cara-cara pengendalian hama yang sesuai, ruang pengembangannya masih ada sebenarnya,” katanya.
Menghadapi musim kemarau, salah satu strategi yang direkomendasikan adalah pengembangan sistem irigasi alternatif yang hemat biaya dan ramah lingkungan. Embung mikro, misalnya, infrastruktur sederhana seperti ini tidak memerlukan investasi besar namun dapat memberikan dampak signifikan bagi produktivitas lahan di daerah tadah hujan atau daerah kering. UGM sendiri telah mengembangkan varietas padi adaptif seperti GAMAGORA yang dirancang untuk bertahan di lahan tadah hujan dengan kebutuhan air yang lebih rendah. Varietas ini menjadi salah satu inovasi yang diharapkan dapat menjaga produksi tetap stabil di tengah ancaman kekeringan akibat perubahan iklim.
Di samping itu, ujar Subejo, pemanfaatan pompa air bertenaga surya menjadi opsi yang bisa diaplikasikan untuk wilayah dengan sumber air melimpah namun minim infrastruktur irigasi. Dengan menggunakan energi terbarukan, biaya operasional dapat ditekan, dan ketergantungan pada bahan bakar fosil dapat dikurangi. Program pompanisasi berbasis energi surya diharapkan menjadi proyek percontohan yang dapat direplikasi di berbagai sentra produksi padi di Indonesia. “Keseluruhan upaya ini mungkin bisa dilakukan dengan berkoordinasi melalui kebijakan lintas sektor yang melibatkan kementerian-kementerian terkait agar bisa secara bertahap dilakukan di berbagai daerah,” pungkasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik