
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Prof. Dra. Anggraeni, M.A., Ph.D., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Arkeologi Prasejarah, Selasa (6/5), di ruang Balai Senat Gedung Pusat UGM. Dalam upacara pengukuhan, Anggraeni menyampaikan pidato Guru Besar yang berjudul “Strategi Adaptif Pada Masyarakat Prasejarah dan Relevansinya untuk Masa Kini”.
Dalam pidatonya, Prof. Anggraeni, menyampaikan bahwa berbagai persoalan yang dihadapi dunia saat ini, seperti masalah kelaparan, kesehatan, interaksi sosial, ekonomi, lingkungan, dan sampah, dapat dipahami dari tinggalan arkeologis yang menawarkan pelajaran dari pengalaman manusia di masa lampau. Dari hasil penelitian arkeologi menunjukkan bahwa sejak Masa Prasejarah manusia telah mengandalkan efisiensi sebagai strategi adaptif dalam menghadapi risiko terkait kondisi iklim dan keterbatasan sumber daya. “Kita bisa melihat dari strategi adaptif yang dilakukan oleh masyarakat Prasejarah, khususnya dari situs-situs yang ada di Indonesia”, jelasnya.
Perubahan iklim pada akhir Kala Pleistosen hingga awal Kala Holosen, kata Anggraeni, mendorong manusia ketika itu untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sumber daya. Hal tersebut terlihat dari peninggalan seperti sisa hunian, peralatan yang terbuat dari batu, dan serpih yang mana dapat disimpulkan bahwa para pemburu-peramu melakukan pengembangan teknologi. “Peralatan yang didominasi oleh alat dari batuan tertentu menunjukkan bahwa mereka selektif dalam memilih bahan dan efisien dalam menggunakan sumber daya yang terbatas,” terangnya.
Tidak hanya itu, peninggalan masyarakat pedusunan awal juga menunjukkan bahwa pada kala itu terjadi perubahan dari masa pemburu-peramu menjadi petani. Terlihat dari sisa pemukiman seperti lubang-lubang bekas tiang rumah, fragmen wadah dari gerabah, dan peralatan dari batu yang sudah digosok halus. Prof. Anggraeni memfokuskan pembahasannya tentang strategi adaptif para migran awal penutur bahasa Austronesia (2.000 – 1.500 SM) yang secara umum dikaitkan dengan keberadaan artefak batu yang disiapkan dengan cermat bersama dengan wadah-wadah gerabah di wilayah kepulauan Asia Tenggara dan Pasifik.
Ketersediaan sumber bahan makanan dan peralatan, serta berkurangnya faktor risiko lainnya, tampaknya telah mendorong para migran awal untuk beradaptasi dengan lingkungan baru secara cepat. Temuan-temuan artefaktual di dua situs Neolitik Minanga Sipakko dan Kamassi selain menandakan adaptasi cepat, juga mengindikasikan bahwa penghuni kedua situs hidup dengan nyaman dan tenang, serta memiliki waktu cukup luang untuk menghasilkan banyak barang yang berkualitas. Selain itu, ketersediaan pangan nabati, sumber protein hewani, dan bahan keperluan lain yang memadai tentu membuat kehidupan pedesaan di Kalumpang menjadi nyaman.
Kehidupan para migran awal di wilayah Asia Tenggara daratan dan kepulauan pada 1.000 – 500 SM terlihat lebih mapan dan stabil, sehingga terjadi peningkatan jumlah penduduk. Kondisi tersebut diketahui dari peningkatan kuantitas dan kualitas temuan artefaktual di kedua situs Neolitik awal di Kalumpang, dan melandasi tumbuhnya dusun-dusun baru. Pada masa ini pertukaran merupakan strategi adaptif terhadap perkembangan kompleksitas masyarakat.
Adapun tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia pada saat ini dalam beberapa aspek masih sama dengan Masa Prasejarah. Tren gaya hidup seperti back to nature, gerakan re-used, recycle merupakan budaya sejak Masa Prasejarah yang saat ini dilakukan kembali. Selain itu, penggunaan gerabah dan bahan pewarna alami, merupakan contoh lain. “Warisan Masa Prasejarah sebenarnya banyak yang masih relevan dan dapat kita manfaatkan sebagai strategi adaptif,” ungkapnya.
Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., menyebutkan bahwa Prof. Dra. Anggraeni, M.A., Ph.D., merupakan salah satu dari 526 Guru Besar aktif di UGM, dan salah satu dari 17 Guru Besar aktif dari 45 Guru Besar yang pernah dimiliki Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie