Kondisi bangsa Arab dalam perjalanan panjang sejarahnya terus-menerus menarik perhatian dunia karena dalam diri mereka terdapat segala macam polaritas dan orientasi yang saling berkontiguitas. Di dunia Arab terdapat persatuan versus fragmentasi, tradisi versus modern, sakral versus sekuler, Timur versus Barat. Secara geobudaya, bangsa Arab selalu ditempatkan sebagai Timur yang sedang berjuang menuju kemajuan, sedangkan bangsa Eropa dan Amerika selalu diposisikan sebagai Barat yang sedang menikmati kemajuan dan bahkan sedang menuju puncak kejayaan di segala bidang, terutama di bidang kebudayaan dan sastranya.
“Dalam pidato pengukuhan ini saya berbicara seputar bangsa Arab dan budayanya beserta aspek sastranya yang telah berjalan melintasi beberapa episode zaman. Bangsa Arab ini akan dibahas secara simbolis dalam bingkai semesta budaya dan sastra,” ujar Prof. Dr. Fadlil Munawwar Manshur, M.S saat dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Budaya Arab pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Dalam upacara pengukuhan yang berlangsung di Balai Senat UGM, Selasa (3/10), ia mengatakan objek formal pidatonya seputar kontiguitas (persentuhan) budaya Arab dengan budaya Barat ditinjau dari perspektif interaksionisme simbolis. Menyampaikan pidato berjudul Kontiguitas Budaya Arab Dengan Budaya Barat : Perspektif Interaksionisme Simbolis, Fadlil Munawwar menuturkan pembahasan mengenai kontiguitas budaya Arab dengan budaya Barat telah menghasilkan lima kesimpulan. Pertama, puncak kejayaan intelektual Arab terjadi karena adanya gerakan brain drain di kalangan ilmuwan dan sastrawan Arab. Mereka seolah dipaksa untuk membaca, menelaah, menerjemahkan, mengembangkan, dan menyempurnakan teori-teori ilmu pengetahuan yang disusun oleh para ilmuwan Barat. Kedua, simbol lebah dan madu menandakan kekuatan energi sosio-kultural yang besar dalam kebangkitan budaya Arab dan kekuatan penggerak dalam produktivitas keilmuan. Lebah memiliki simbol kesabaran, kemandirian, keuletan, tantangan, dan pluralitas.
Ketiga, gerakan keilmuan para sarjana Kristen dalam melestarikan warisan Yunani kuno begitu besar. Pemberlakuan kurikulum Hellenistik dipandang sangat penting karena di dalamnya terdapat transmisi ekstensif dari sastra Yunani ke sastra Suryani dan transmisi dari sastra Suryani ke sastra Arab. Dalam pergaulan sosial antara Arab-Islam dan Kristen mengalami harmoni dan kehangatan yang luar biasa. Hal ini menjadi penjelas bahwa hubungan Arab-Islam dengan Kristen tidaklah seseram dan senegatif yang diceritakan dalam buku-buku sejarah.
Keempat, simbol pedang dan pena dipandang penting sebagai tanda heroisme dan intelektualisme orang Arab. Simbol pedang adalah kekuatan dan kekuasaan yang dipegang oleh pemimpin. Adapun simbol pena adalah kebaikan, kedamaian, cinta ilmu pengetahuan, dan prestasi intelektual. Kelima, kehidupan yang kompleks dalam masyarakat Arab modern tergambar dalam empat novel yang menjadi simbol kekuatan ideologi, imajinansi, superiorisme, dan agilisme dalam budaya Arab.
“Dari rangkaian uraian dan penjelasan di atas, dapatlah dikatakan secara teoretik kontiguitas budaya dengan budaya lain perlu diperkuat dengan konsep struktur, fungsi, komunikasi, dan relasi. Khusus dalam konteks relasi, ada dua bentuk relasi yang dapat mengokohkan bangunan teori kontiguitas budaya, yaitu relasi struktural yang terdapat dalam masyarakat atau yang ada dalam suatu karya sastra perlu dirinci komponen-komponennya, dan relasi fungsional-komunikatif yang menghubungkan budaya satu dengan budaya lain atau antara karya sastra satu dengan karya sastra lain perlu ditegaskan konteks dan audiensnya,” terangnya.
Dalam tataran praksis, Fadlil menyebut teori kontiguitas budaya perlu juga memiliki fungsi paralel, yaitu memberikan blueprint bagi metodenya yang konkret, aplikatif, dan spesifik. Teori ini, menurutnya, dapat membantu mengintegrasikan karya manusia ke dalam konteks sosio-kulturalnya sehingga ia dapat menangkap fenomena-fenomena yang tidak dapat dipahami.
“Teori kontiguitas budaya dengan demikian, secara idiografik termasuk dalam wilayah teori yang menjelaskan fenomena-fenomena sosio-kultural yang bersifat subjektif dan relatif,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto