
Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK) UGM Prof. dr. Fatwa Sari Tetra Dewi, MPH, Ph.D dikukuhkan dalam jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Promosi dan Pencegahan Penyakit Tidak Menular, Selasa (1/40, di ruang Balai Senat, Gedung Pusat UGM. Dalam upacara pengukuhannya, Fatwa menyampaikan pidato berjudul Kesehatan Kita, Kontribusi Semua: Inovasi dan Kolaborasi dalam Pencegahan Penyakit Tidak Menular.
Dalam pidatonya, Fatwa Sari menyampaikan Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), dan kanker menyumbang 73 persen dari total kematian di Indonesia. Pola kebiasaan gaya hidup tidak sehat seperti merokok, pola makan tidak sehat, kurangnya aktivitas fisik, stres, dan konsumsi alkohol, disebutnya sebagai faktor risiko utama yang terus meningkat. Tercatat ada 34,2 persen perokok dewasa di Indonesia, sementara 21,8 orang dewasa mengalami obesitas, dan hanya 66,5 persen yang memenuhi standar aktivitas fisik sesuai anjuran World Health Organization (WHO). “Adanya keterlambatan dalam mencari pengobatan membuat banyak kasus PTM baru terdeteksi pada tahap lanjut,” kata Fatwa Sari.
Menurutnya, kemajuan teknologi digital membuka peluang besar dalam pencegahan dan penanganan PTM, seperti munculnya aplikasi kebugaran, konsultasi daring, serta edukasi gizi. Namun disisi lain digitalisasi juga membawa risiko baru, seperti akses mudah ke makanan tidak sehat, gaya hidup rebahan, serta stres akibat paparan informasi yang berlebihan.
Adanya pemisahan antara kesehatan fisik dan mental, menurutnya, menjadikan layanan kesehatan kurang terintegrasi. Oleh karena itu, agar pencegahan PTM lebih efektif maka pendekatan holistik sangat diperlukan. Berbeda dengan pengendalian penyakit menular yang berfokus pada pemutusan rantai penularan, pengendalian PTM lebih efektif jika mengutamakan upaya promotif dan preventif dibandingkan pengobatan (kuratif) dan rehabilitatif. “PTM berkembang perlahan dari faktor risiko yang sebagian besar dapat dikendalikan. Sebaliknya, pendekatan kuratif lebih mahal dan sering tidak menyembuhkan. Jika upaya pencegahan diabaikan, beban ekonomi kesehatan tentu akan meningkat dan kualitas hidup pasien akan menurun,” terangnya.
Dalam pengendalian PTM, Fatwa berpandangan pemerintah tidak bisa sendirian, melainkan perlu menggandeng masyarakat sebagai motor perubahan. Disebutnya, PTM erat kaitannya dengan gaya hidup yang pada hakikatnya merupakan pilihan individu. “Pemerintah sangat diperlukan perannya sebagai fasilitator yang mendorong perubahan perilaku masyarakat, yaitu dengan menyediakan regulasi, dana, dan infrastruktur pendukung dengan tetap memberi ruang bagi komunitas untuk berkreasi dalam memodifikasi perilaku hidup sehat mereka”, ucapnya.
Fatwa kembali mengungkap bila perkembangan teknologi digital memungkinkan promosi dan pencegahan PTM dilakukan secara masif dan efisien. Berbagai inovasi teknologi kini telah dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas promosi dan pencegahan PTM, termasuk media sosial, aplikasi kesehatan, wearable devices, telemedicine, big data, dan kecerdasan buatan. Sayangnya, pemanfaatan teknologi digital ini masih menghadapi tantangan kesenjangan akses digital (digital divide), terutama bagi masyarakat di daerah terpencil, ataupun kelompok berpenghasilan rendah karena keterbatasan akses internet, dan kepemilikan perangkat.
Kepemimpinan yang kuat, sinergi lintas sektor dan pendanaan yang berkelanjutan, menurut Fatwa menjadi faktor yang mendorong program pengendalian PTM di masyarakat. Hal tersebut diperlihatkan atas keberhasilan pengendalian COVID-19 di Indonesia, dan keberhasilan pengendalian PTM di Thailand.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Donnie