Masalah perkembangan anak merupakan masalah global. Diperkirakan sekitar 250 juta atau 43 persen anak balita dengan usia <5 tahun di negara-negara sedang berkembang tidak dapat mencapai potensi perkembangannya karena dihadapkan masalah malnutrisi, kesehatan, tidak mendapatkan stimulasi dan pengasuhan yang adekuat, maupun faktor risiko lain terkait dengan kemiskinan.
Prof. dr. Mei Neni Sitaresmi, Sp. A(K)., Ph.D, staf pengajar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, menyebut stunting, anak pendek yang diakibatkan kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang masih menjadi masalah global termasuk di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan saat ini menyatakan prevalensi stunting di Indonesia masih 21,6 persen, dan pemerintah mentargetkan penurunan angka Stunting ini menjadi 14 persen pada tahun 2024.
Dia mengungkapkan perkembangan yang tidak optimal pada awal kehidupan akan memberikan konsekuensi jangka panjang seperti meningkatnya risiko penyakit kronis dan kesehatan mental, berkurangnya produktivitas, serta berkurangnya kesempatan mendapatkan pekerjaan. Kondisi ini bisa menurun kepada generasi berikutnya.
“Masalah ini tentunya akan menjadi beban ekonomi suatu negara. Sebaliknya, menurut data World Health Organization tahun 2018, setiap investasi 1 dollar AS untuk program atau intervensi perkembangan anak usia dini akan menghemat dan menghasilkan keuntungan 13 dollar AS,” ucapnya di Balai Senat UGM, Kamis (15/2).
Prof. dr. Mei Neni Sitaresmi, Sp. A(K)., Ph.D mengatakan hal itu saat dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Anak pada Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM. Dalam kesempatan tersebut, ia menyampaikan pidato berjudul Pendekatan Nurturing Care Pada Anak Usia Dini untuk Hidup, Tumbuh dan Berkembang Menuju Manusia Sehat dan Produktif.
“Saya mengambil topik ini karena kesehatan dan perkembangan anak pada awal kehidupan merupakan fondasi yang menentukan kesehatan, kesejahteraan dan produktivitas pada saat dewasa,” ujarnya.
Sebagai dokter anak, Mei Neni Sitaresmi mengungkapkan saat ini banyak orang tua yang membawa anaknya dengan keluhan masalah perkembangan dan perilaku seperti belum bisa berjalan, keterlambatan bicara, tidak bisa berkomunikasi dua arah, tidak bisa diam, sulit berkonsentrasi, mudah marah, maupun karena masalah pertumbuhan, seperti berat badan sulit naik, anak pendek, atau sulit makan. Karenanya perkembangan anak usia dini termasuk dalam target 4.2 Sustainable Development Goals 2030, dimana setiap anak laki-laki dan perempuan mempunyai hak mendapat pengasuhan, perkembangan, dan pembelajaran dini yang berkualitas supaya mereka siap untuk ikut dalam pendidikan dasar.
Menurut Mei Neni perkembangan anak usia dini yang tidak optimal dapat dicegah atau dioptimalkan dengan menciptakan lingkungan yang stabil dan sensitif terhadap pemenuhan kebutuhan kesehatan dan nutrisi, aman dari bahaya dan rasa tidak aman, memberi kesempatan anak untuk belajar sejak dini, dan didukung oleh pengasuh yang responsif. WHO pada tahun 2018, UNICEF, dan World Bank telah memperkenalkan konsep nurturing care perkembangan anak usia dini yaitu suatu kerangka konsep untuk membantu anak hidup dan berkembang serta bertransformasi menjadi manusia yang sehat dan produktif.
The Care for Child Development (CCD) merupakan paket program yang dikeluarkan WHO dan UNICEF untuk mendukung implementasi nurturing care pada anak usia 0-5 tahun. Program inipun diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan yang sudah berjalan di pelayanan kesehatan dasar.
“CCD ditujukan untuk meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam mendukung orang tua asuh dalam memberikan pengasuhan yang responsive dan aktifitas yang mendukung anak bermain dan bereksplorasi serta meningkatkan komunikasi dan interaksi antara anak dan orang tua atau pengasuh,” imbuhnya.
Program CCD ini telah diimplementasikan di 54 negara sedang berkembang termasuk di Indonesia. Secara umum disimpulkan bahwa CCD telah membantu meningkatkan kesadaran pelaksanaan program khususnya di sektor kesehatan dan gizi di negara berkembang mengenai strategi untuk mempromosikan program anak usia dini.
Pada bagian akhir dari pidatonya, ia kembali menandaskan bila periode sejak kehamilan sampai 3 tahun pertama kehidupan menjadi periode sensitif bagi perkembangan seorang anak. Pada periode tersebut, pengaruh lingkungan dan pengalaman baik yang negatif maupun positif sangat menentukan kualitas kesehatan dan produktifitas seseorang.
Anak membutuhkan lingkungan yang aman, stabil dan suportif yang menjamin pemenuhan kesehatan dan gizi, memberikan perlindungan dari ancaman, bahaya dan rasa tidak aman. Selain itu memberi kesempatan anak untuk belajar sejak dini, serta didukung oleh pengasuh yang responsif yang mendukung secara emosional dan menstimulasi perkembangan.
“Intervensi terintegrasi anak usia dini merupakan intervensi yang murah dan hemat (costeffective) oleh karena itu harus dilakukan oleh keluarga dengan dukungan dari masyarakat termasuk masyarakat profesi dan pemerintah,” tandasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Fotografer : Firsto