Gingivitis atau radang gusi merupakan penyakit rongga mulut yang memiliki kuantitas tertinggi kedua setelah karies gigi dan memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Penyakit yang mengenai jaringan pendukung gigi atau periodontal ini muncul sebagai bentuk respons inang terhadap timbulnya infeksi dari toksin yang dihasilkan oleh kuman.
Akumulasi kuman pada daerah margin gingiva, papila interdental akan menyebabkan pergeseran komposisi kuman dari bakteri gram positif menjadi gram negatif dan dari bakteri aerob menjadi anaerob. Pada umumnya gingivitis ini merupakan bentuk pertahanan tubuh dari jaringan lunak rongga mulut dalam merespons infeksi, toksin yang berasal dari kuman rongga mulut, dan kondisi lanjut dari kerusakan ini akan terjadi bila sistem pertahanan tubuh tidak mampu menetralisir.
Pada tahap berikutnya, kerusakan akan melibatkan jaringan pendukung gigi lainnya seperti sementum, ligamen periodontal, dan tulang alveolar pada akhirnya mengakibatkan gigi mengalami kegoyahan dan dapat terlepas dari soketnya. “Kondisi perkembangan dari gingivitis menjadi periodontitis ini dikenal sebagai periodontitis marginalis Karies gigi dan gingivitis merupakan penyakit rongga mulut yang multifaktorial yang dikaitkan dengan keberadaan peningkatan akumulasi dan dominasi mikrobiota tertentu, kondisi disbiosis yang mengganggu keseimbangan oral mikrobioma ini berdampak pada kerusakan lingkungan, pada jaringan keras gigi yang ditandai dengan timbulnya karies dan pada jaringan lunak yang ditandai dengan timbulnya gingivitis,” ujar Prof. drg. Suryono, S.H., M.M., Ph.D, di Balai Senat UGM, Kamis (4/1) saat dikukuhkan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Periodonsia pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada.
Pada pidatonya berjudul Pencegahan Penyakit Periodontal Melalui Penjagaan Keseimbangan Mikrobioma Rongga Mulut dan Manipulasi Lingkungan Permukaan Gigi, Dekan Fakultas Kedokteran Gigi UGM ini menyampaikan karies gigi sebagai akibat dari metabolisme mikrobiota yang bersifat asam mengakibatkan larutnya mineral dari jaringan keras gigi, dan gingivitis muncul sebagai akibat toksin yang dihasilkan oleh mikrobiota dalam jumlah tertentu yang melampaui kemampuan dari sistem pertahanan rongga mulut sebagai bentuk respon pertahanan tubuh. Interaksi multifaktor yang meliputi waktu, kuman, substrat, dan inang yang berupa jaringan keras gigi adalah konsep yang diyakini hingga saat ini sebagai model timbulnya karies.
Begitu juga kegagalan keseimbangan interaksi antara virulensi kuman yang berupa toksin dengan sistem pertahanan rongga mulut terkhusus pada jaringan pendukung gigi sebagai model timbulnya gingivitis. Mikrobiota menjadi salah satu faktor yang sama untuk dua kejadian penyebab penyakit tersebut.
“Dengan begitu, pengendalian peran dari kuman menjadi yang sangat penting dalam upaya pencegahannya,” katanya.
Suryono menyebut harmonisasi simbiose mikrobioma rongga mulut yang meliputi interaksi antara mikrobiota rongga mulut dan inang yang meliputi jaringan keras gigi, mukosa rongga mulut, saliva, dan gingiva dengan berbagai karakteristik fisik, biokimia, dan genetik merupakan konsep pencegahan dan pengobatan yang perlu dikembangkan. Hal itu sebagai alternatif pemikiran baru yang berpegang prinsip dasar melakukan penjagaan dan pengembalian keseimbangan ekosistem rongga mulut secara normal.
Iapun menyebut rekayasa lingkungan rongga mulut dengan menyediakan fasilitasi bagi harmonisasi interaksi mikrobiota oral secara wajar dan peningkatan ketahanan lingkungan rongga mulut dapat dilakukan dengan banyak metode agar tidak terjadi disbiosis yang berakibat merugikan inang. Bahwa menjaga kondisi dalam keadaan normal jauh lebih penting daripada melakukan penghancuran yang berdampak pada kerusakan keseimbangan mikrobioma rongga mulut.
“Mencegah timbulnya penyakit gigi dan mulut tentunya lebih baik dari pada mengobati. Dengan demikian, upaya Indonesia untuk mencapai Indonesia bebas penyakit 18 gigi dan mulut (karies dan gingivitis) pada tahun 2030 secara bertahap dapat diwujudkan”, imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Fotografer: Donnie Tristan