Prof. Dr. apt. Susi Ari Kristina, M. Kes, dikukuhkan dalam jabatan Guru Besar bidang Manajemen Farmasi dan Farmasi Masyarakat Fakultas Farmasi UGM, Selasa (26/9) di Balai Senat UGM. Dalam pengukuhan tersebut ia menyampaikan pidato berjudul Integrasi Apoteker Dalam Sistem Pelayanan Kesehatan Melalui Peran Promotif dan Preventif.
Susi menyampaikan peran apoteker saat ini berkembang pesat. Selain berorientasi pada pengembangan produk, distribusi obat dan vaksin, layanan apoteker saat ini mencakup lebih banyak fungsi berorientasi pasien seperti farmakoterapi, pencegahan, dan layanan promosi kesehatan.
“Saat ini terdapat 30 ribu lebih apoteker yang bekerja di apotek dengan jumlah staf pekerja di sektor ini sekitar 62.000. Apotek pun menjadi satu-satunya fasilitas kesehatan yang berada di tengah-tengah masyarakat dan mudah diakses,” jelas wanita kelahiran Pati, 25 Juni 1981 ini.
Melihat signifikansi peran apoteker, lanjutnya, pemerintah pun memasukkan integrasi peran apoteker dalam JaminanKesehatan Nasional (JKN) melalui tiga skenario. Pertama, peran apoteker dalam program rujuk balik (PRB). Layanan ini berlaku untuk penyakit kronis seperti hipertensi, diabetes, gagal jantung, Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK), stroke, asma, epilepsi, schizophrenia, dan lupus. Apotek sebagai pemberi pelayanan obat PRB, memberikan pelayanan dan memantau penggunaan obat peserta PRB. Namun, dari studi yang dilakukan Hermansyah dkk, 2020 disebutkan untuk saat ini hanya 9% apoteker di apotek yang berpartisipasi di dalam program ini. Sementara, sisanya (91%) masih berpaktik independen. Oleh sebab itu, perlu dilakukan upaya peningkatan cakupan/jumlah apotek yeng berpartisipasi dalam PRB sehingga tujuan utama program ini lebih cepat tercapai.
Skenario kedua adalah optimalisasi standar pelayanan kefarmasian oleh apoteker di puskesmas yang mengakomodasi kolaborasi dengan semua tenaga kesehatan. Apoteker di puskesmas bisa memberikan layanan kunjungan rumah untuk peningkatan kepatuhan dan pemantauan terapi obat. Namun demikian, layanan ini belum optimal karena berbagai kendala di lapangan.
Ketiga, apoteker menjadi bagian dari program GeMa CerMat, yaitu program kampanye penggunaan obat rasional yang tertuang dalam jargon “DAGUSIBU”. Apoteker di komunitas berpartisipasi dalam program ini secara aktif melalui edukasi publik seperti di sekolah, di forum kemasyarakatan, atau di ruang publik. Pembiayaan program “Gema Cermat” dilakukan secara bersama antara Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Provinsi.
Susi menyampaikan beberapa tantangan yang menjadi hambatan implementasi pelayanan kefarmasian di fasilitas kesehatan primer di Indonesia harus diidentifikasi dan disikapi untuk masa depan. Tantangan tersebut berkisar dari level makro, level meso, dan level mikro. Tantangan di level makro, meliputi landasan hukum dan peraturan perundang-undangan dan keterbatasan alokasi anggaran kesehatan di sistem kesehatan nasional kita. Termasuk dalam hal ini adalah dukungan dari otoritas kesehatan dan dukungan investasi untuk menjamin ketesediaan obat nasional.
Sementara tantangan tingkat meso termasuk budaya organisasi di lingkup farmasi komunitas, dimana layanan farmasi masih belum mengikuti perkembangan kebutuhan dan lingkungan yang dinamis. Salah satunya adopsi teknologi farmasi dalam layanan kesehatan dan implementasi sistem informasi farmasi untuk pengelolaan dan pelayanan kefarmasian.
Lalu, tantangan di tingkat mikro adalah perlunya peningkatan kompetensi apoteker. Apoteker umumnya bekerja di balik layar, sangat sedikit yang betul-betul berada di depan memberikan layanan dan berkomunikasi langsung dengan pasien.
“Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama dari pemerintah sebagai regulator, organisasi profesi IAI sebagai pengarah, stakeholder terkait dan apoteker untuk bersinergi memaksimalkan peran apoteker dalam aspek promotif dan preventif,”pungkasnya.
Penulis: Ika
Foto: Donnie