
Satwa liar menjadi salah satu bagian penting bagi ekosistem, namun juga berperan sebagai reservoir penyakit zoonotik yang berdampak pada manusia. Namun upaya konservasi satwa liar, selain bertujuan untuk melindungi keanekaragaman hayati, bisa menjadi strategi penting untuk menjaga stabilitas ekosistem yang sehat. Oleh karena itu, pendekatan One Health merupakan konsensus lintas lembaga internasional, sehingga krusial dalam menghadapi tantangan kesehatan global, terutama zoonosis, resistensi antimikroba, keamanan pangan, dan perubahan lingkungan. “Ekosistem yang stabil dan berfungsi baik dapat membatasi penyebaran patogen secara alami, ” kata Dosen Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. drh. Tri Wahyu Pangestiningsih, M.P., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Anatomi dan Biologi Satwa Liar, Selasa (14/10), di ruang Balai Senat Gedung Pusat UGM.
Dalam upacara pengukuhan, ia menyampaikan pidato Guru Besar yang berjudul “Peran Ilmu Anatomi dan Biologi Satwa Liar Sebagai Pondasi untuk Konservasi Satwa Liar dan One Health”. Tri Wahyu mengatakan konsep One Health di Indonesia telah diadopsi melalui berbagai inisiatif lintas kementerian dan lembaga. Namun keterlibatan sektor konservasi dan satwa liar masih relatif terbatas dibandingkan sektor kesehatan manusia dan veteriner. “Padahal, Indonesia merupakan salah satu hotspot keanekaragaman hayati dunia, sekaligus daerah dengan resiko tinggi kemunculan zoonosis baru,” ungkapnya.
Selain berperan dalam menjaga ekosistem, kata Tri, satwa liar juga berperan terhadap penelitian ilmiah termasuk bidang biomedis. Penelitian berbasis ilmu anatomi dan biologi satwa liar menjadi pondasi penting dalam upaya konservasi yang diintegrasikan dengan kebijakan kesehatan masyarakat dan perlindungan lingkungan. Ilmu anatomi dan biologi satwa liar memegang peranan ganda yakni sebagai basis pengetahuan untuk konservasi dan juga sebagai sumber informasi penting dalam upaya pencegahan dan mitigasi resiko zoonosis. “Pemahaman anatomi sangat penting dalam konservasi karena tanpa pengetahuan mendalam mengenai struktur tubuh, kita beresiko gagal mengenali kebutuhan biologis satwa liar, baik dalam penangkaran, pelepasliaran, maupun perawatan medis,” jelasnya
Dikatakan Tri, monyet ekor panjang (MEP) yang mana merupakan primata asli Indonesia memiliki kedekatan anatomis dan fisiologis yang tinggi dengan manusia dibandingkan kelompok new world monkey, monyet yang terdistribusi di Amerika Selatan. Oleh karena itu, MEP kerap dijadikan model dalam penelitian biomedis. Penelitian tentang area postrema pada MEP diharapkan dapat membantu riset biomedis dalam mengatasi efek samping gejala mual. “Hasil penelitian pada MEP ini telah memperkaya ilmu neuroscience dan fisiologi komparatif”, Ucap Prof. Tri Wahyu.
Studi perkembangan neuron katekolaminergik di area postrema menunjukkan tahapan diferensiasi yang relevan bagi pemahaman fungsi otonom dan respons terhadap toksin atau obat, sehingga dapat menjadi pengetahuan yang dapat ditranslasikan ke konteks klinis manusia.Kemudian, ada kelelawar sebagai satwa liar telah dikenal sebagai reservoir berbagai virus dikaji terutama hubungan struktur-fungsi. “Ini penting untuk dapat memahami potensi patogenesis penyakit sebagai indikator perubahan ekologis”, jelasnya.
Kombinasi anatomi, histologi, dan surveilans molekuler memperkuat posisi kelelawar sebagai komponen penting dalam sistem peringatan dini zoonosis. Selain itu, sebagai upaya eksplorasi potensi satwa liar Indonesia, diteliti tentang anatomi serebelum ikan betik (Anabas testudineus). Studi perkembangan skeletal pada ikan betik ini membuka peluang pemanfaatan model satwa liar ikan lokal untuk riset biologi perkembangan. “Pilihan pola osteogenesis memperkaya pilihan model eksperimen,” pungkasnya.
Dia akhir pidatonya, Tri menegaskan konservasi bukan hanya tentang melindungi spesies dari kepunahan, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem yang menopang kehidupan manusia. Ilmu anatomi dan biologi satwa liar ini berperan dalam konservasi satwa. Diharapkan para ilmuwan dapat merancang strategi konservasi yang lebih efektif, seperti menentukan habitat yang sesuai, pola makan yang dibutuhkan, serta teknik reproduksi buatan untuk spesies yang terancam punah. “Bukan hanya dari perspektif pelestarian spesies, tetapi juga sebagai strategi preventif yang membantu menjaga kesehatan manusia,” ungkapnya.
Sekretaris Dewan Guru Besar, Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo, M.P.P., menyebutkan bahwa Prof. Dr. drh. Tri Wahyu Pangestiningsih, M.P., merupakan salah satu dari 529 Guru Besar Aktif di UGM, dan salah satu dari 21 Guru Besar aktif dari 33 Guru Besar yang pernah dimiliki Fakultas Kedokteran Hewan.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie