Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Prof. Wakhid Slamet Ciptono, M.B.A., M.P.M., Ph.D. dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Manajemen, Selasa (30/4). Dalam pengukuhan yang berlangsung di Balai Senat UGM, ia menyampaikan pidato yang berjudul Kesadaran Praktik Manajemen: Optimisasi Nilai-Nilai Ekonomika Kebahagiaan dan Bisnis Kebaikan.
Menurut Wakhid, saat ini terjadi dilema sosial dalam manajemen bisnis berdasar sistem ekonomi kapitalisme, yakni pemilihan antara opsi profit atau etika. Ia mengatakan bahwa kelas kapitalis lebih memilih opsi profit sebagai indikator kinerja utama kesuksesan, dan mengabaikan nilai-nilai etika sosial dan ekologi. “Fenomena ini disebut sebagai kesuksesan yang membawa musibah, yaitu kesuksesan bagi kelas kapitalis dan musibah bagi kelas pekerja,” ujarnya.
Ia menyebutkan, periode dari tahun 1800 hingga 2014 menunjukkan bahwa praktik sistem kapitalis telah memberikan return on contribution secara ekonomi sehingga dinilai lebih memiliki keunggulan dibandingkan sistem sosialisme dan komunisme yang sudah runtuh. Akan tetapi, pada periode 2014 hingga 2024, masyarakat dunia justru merasakan adanya anomali praktik kapitalisme yang tidak berkesadaran.
Menurutnya, salah satu upaya melaksanakan transformasi kapitalisme yaitu dengan mengenalkan konsep conscious capitalism atau kapitalisme berkesadaran yang menyadarkan perusahaan bisnis untuk tidak lagi berwawasan sempit dengan tujuan memaksimalkan profit berbasis nilai ekonomi, tetapi mengembangkan wawasan yang lebih luas dan tujuan mulia, yaitu manfaat sosial dan ekologi demi keberlanjutan bisnis dan kebaikan umat manusia hingga akhir zaman.
Dalam pidatonya, ia menjelaskan empat prinsip dasar dari kapitalisme berkesadaran. Prinsip pertama adalah tujuan perusahaan bisnis yang mulia dibandingkan dengan hanya mendapatkan profit untuk para pemiliknya. Prinsip kedua yaitu perusahaan sebaiknya memahami dengan penuh kearifan (wisdom) dan kebijaksanaan (sagacity) dalam hubungan saling ketergantungan seluruh stakeholders. Prinsip ketiga adalah conscious leadership atau kepemimpinan berkesadaran. “Terakhir, prinsip keempat adalah conscious culture yang mampu menyadarkan (membumikan) praktik conscious capitalism secara terpadu,” ujarnya.
Pada konteks di Indonesia sendiri, Wakhid menyatakan bahwa kesenjangan antara kelompok kapitalis yang kaya dan kelompok rakyat menjadi semakin lebar. Oleh karena itu, dibutuhkan realisasi keseimbangan yang dinamis antara ideologi dan aksiologi Pancasila sebagai way of life bangsa Indonesia. “Mungkin kita tahu ideologi Pancasila itu apa, ada berapa sila, tetapi aksiologi atau action-nya itu kurang,” ujarnya.
Dibutuhkan pandangan entitas bisnis sebagai pemberi kasih sayang dalam mewujudkan dunia yang lebih baik. Profit yang diperoleh dari aktivitas bisnis, oleh kelas kapitalis digunakan untuk memberikan return on contribution kepada kelas pekerja secara finansial dengan rasa ikhlas penuh kasih sayang. “Penerapan ini menciptakan nilai melalui keselarasan kepentingan para stakeholders dan meminimalkan potensi conflict of interests dan sekaligus memaksimalkan manfaat untuk seluruh stakeholders,” paparnya.
Menutup pidatonya, Wakhid menyebutkan tantangan terbesar bagi kesadaran praktik manajemen di Indonesia untuk mengoptimalkan nilai-nilai ekonomika kebahagiaan dan bisnis kebaikan adalah mewujudkan keseimbangan. Oleh karenanya diperlukan keberanian dan kejujuran dalam merealisasikan organisasi keseimbangan seperti yang terkandung dalam ideologi Pancasila.
Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. Ir. Mochammad Maksum, M.Sc., turut memberikan pidato sambutan setelah mengalungkan samir Guru Besar pada Prof. Wakhid Slamet Ciptono, menyebutkan bahwa Prof. Wakhid Slamet Ciptono merupakan salah satu dari 460 guru besar aktif di UGM. Sementara itu, pada tingkat fakultas, Prof. Wakhid Slamet Ciptono merupakan salah satu dari 28 guru besar aktif dari 45 guru besar yang dimiliki FEB UGM.
Penulis: Dita
Editor: Gusti Grehenson
Foto: Donnie