Makan siang dan minum susu gratis menjadi salah satu program kerja unggulan kabinet presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Program ini dianggap salah usaha pemerintah untuk meningkatkan asupan gizi anak-anak Indonesia apalagi tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia hanyalah sebesar 16,3 kg/kapita/tahun (BPS, 2020). Jumlah ini jauh dibawah negara ASEAN lainnya seperti Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia yang bahkan jumlahnya mencapai 65 kg/kapita/tahun. Melalui konsumsi susu, harapannya stunting dapat dicegah dan pada saat yang sama meningkatkan kualitas nutrisi pangan berbasis protein hewani.
Namun untuk mensukseskan keberhasilan program ini, pemerintah dipastikan akan melakukan impor susu dan sapi perah dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebab berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) tahun 2021 mengungkapkan, kebutuhan susu nasional sebesar 4,38 juta ton. Produksi susu segar dalam negeri (SSDN) hanya mampu memenuhi 997,3 ribu ton atau 22% saja yang dihasilkan dari sejumlah 584.582 ekor sapi perah. Sisanya sebesar 78% impor dari luar negeri. Artinya, belum tercipta kemandirian produksi susu di Indonesia.
Guru Besar Fakultas Peternakan UGM, Prof. Widodo Hadisaputro, PhD., memberikan pandangan terkait rencana pemerintah untuk melakukan impor susu secara besar-besaran untuk mensukseskan program minum susu gratis tersebut. Bagi Widodo, pemerintah sebaiknya menghindari ketergantungan importasi susu agar tidak menjadi ajang aji mumpung bagi pihak-pihak yang ingin meraup keuntungan dari agenda negara.
Guna menghindari ketergantungan impor susu, Widodo menekankan perlunya strategi dengan pembatasan impor, mengurangi ketergantungan impor susu, dan pada saat yang sama perlu menggerakkan sektor peternakan sapi atau kambing perah, serta menghidupkan industri persusuan nasional demi kemandirian susu nasional jangka panjang. Kemandirian susu nasional hanya bisa dipenuhi dengan penambahan populasi sapi perah di Indonesia yang diiringi dengan peningkatan produktivitasnya. Selain itu, perlu ada penguatan teknologi untuk budidaya ternak perah yang lebih efisien dan efektif ditambah dengan sumber daya lahan untuk penyediaan pakan dan SDM yang mendukung. “Untuk mencapai hal ini, perlu manajemen budidaya pengelolaan ternak yang baik serta pemilihan dan penyediaan bibit indukan dengan kualitas genetik adaptif dengan iklim tropis basah di low land areas,” paparnya, Rabu (16/10).
Soal rencana pemerintah untuk melakukan impor sapi dari Australia, New Zealand, Brazil, atau Eropa untuk memenuhi kebutuhan susu nasional tahun 2029 adanya peningkatan jumlah sapi perah betina dewasa menjadi 4x lipat dari saat ini, atau kurang lebih sebesar 2,3 juta ekor. Menurut Widodo memerlukan usaha yang luar biasa dengan risiko tidak sedikit. “Harapannya produksi susu akan meningkat 6 kali lipat menjadi 6 juta ton. Akan tetapi, mendatangkan ternak dalam jumlah besar seperti itu memerlukan tahapan yang sangat teknis dan saya kira membutuhkan effort yang luar biasa dengan mengikuti peraturan impor dari negara asal dan negara kita sendiri,” ujar Widodo menanggapi.
Widodo menilai negara perlu mengikuti peraturan negara asal, Peraturan Menteri Perdagangan No. 29 tahun 2019 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan, serta mematuhi protokol Badan Karantina Pertanian, termasuk segala dokumen persyaratannya. “Salah satu yang perlu dicermati adalah karantina. Jangan sampai ternak datang membawa penyakit bawaan yang dapat menyebar ke ternak lokal seperti kasus Penyakit Mulut dan Kuku (PMK),” katanya.
Tidak hanya dari segi birokrasi importasi saja, negara dan pelaku usaha juga perlu memikirkan lokasi kandang, kesediaan hijauan yang baik sebagai pakan ternak, serta kesediaan lahan untuk hijauan. Akibatnya, akan muncul kompetisi penggunaan lahan bagi manusia dan hewan ternak. ”Program kemandirian susu jangan hanya menguntungkan industri besar peternakan sapi perah, tetapi juga ditujukan untuk pengembangan peternakan sapi perah rakyat, baik melalui koperasi atau kelompok peternak,” tegas Widodo.
Disamping itu, diperlukan skema yang berlandaskan pada kerja sama antara korporasi besar dengan inti rakyat. Menurutnya, akan lebih baik bila rakyat dapat ikut mengembangkan sapi yang disediakan melalui korporasi besar misalnya. “Jika memungkinkan juga untuk masyarakat peternak, koperasi dan peternakan rakyat yang sudah eksis dengan skema yang memungkingkan mereka bisa memiliki, ini akan lebih riil,” tandasnya.
Melalui skema tersebut, Widodo menuturkan akan ada lapangan kerja yang kian merebak, produksi susu akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan, jumlah peternak turut meningkat, serta mewujudkan transformasi industri yang tangguh dan berdampak pada transformasi konsumsi susu nasional. “Landscape impor sapi seperti ini jauh lebih baik agar tidak sampai mematikan produsen susu dalam negeri karena harganya mayoritas sedikit lebih mahal daripada impor, walaupun secara praktis-ekonomis memang lebih cepat impor susu,”terangnya.
Widodo berharap sektor peternak rakyat dan koperasi akan lebih berdaya melalui mapping lokasi dengan kondisi agroekologis yang mendukung, khususnya di luar Jawa mengingat sebagian wilayah pulau Jawa sudah terjangkit endemik PMK. Pengembangan bibit sapi perah tropis juga dapat dilakukan sebagai alternatif budidaya sapi yang lebih adaptif dengan kondisi suhu dan lingkungan kita. Selain sapi, kambing perah juga bisa dikembangkan. Dirinya juga menekankan inovasi dan hilirisasi produk susu. “Smart Dairy Farming juga disarankan dilakukan oleh korporasi karena suhu dan kelembaban kandang bisa dikontrol dengan memanfaatkan teknologi sensor sehingga sapi tidak stres dan produktivitasnya meningkat,” tutupnya.
Penulis : Bolivia
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik