Dampak perubahan iklim mulai menjadi ancaman bagi seluruh negara. Munculnya kekeringan, anomali suhu dan cuaca, hingga ancaman ketahanan pangan menunjukkan urgensi kuat untuk mendorong strategi pengurangan emisi karbon yang ditargetkan hingga tahun 2060. Pemerintah Indonesia sendiri mencanangkan target pengurangan emisi karbon mencapai 31,89% yang perlahan dituangkan dalam berbagai kebijakan.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah ikut melaksanakan Inisiatif Transparansi Industri Ekstraktif atau Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). EITI merupakan standar global untuk transparansi tata kelola sumber daya alam ekstraktif, seperti minyak bumi, gas alam, batu bara yang bertanggung jawab. Mengusung isu tersebut, Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol UGM, bersama Sekretariat EITI Indonesia menggelar seminar bertajuk “Extractive Transparency Day: Kontekstualisasi Transparansi Data dan Informasi Industri Ekstraktif dalam Kerangka Transisi Energi Berkeadilan” pada Senin (16/10).
“Salah satu elemen paling pokok dalam adaptasi perubahan iklim ini adalah transisi energi menuju energi yang berkelanjutan, energi yang lebih bersih, dan energi yang lebih renewable. Tentu di dalamnya harus termuat aspek-aspek keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan. Maka dari itu, PolGov bekerja sama dengan pihak-pihak nasional dan internasional dalam hal transisi energi ini. Sekaligus ini juga menjadi agenda dari fakultas kami untuk membentuk green society,” tutur Dr. Wawan Mas’udi, S.IP., M.P.A., Ph.D., Dekan Fisipol UGM.
Industri sumber daya ekstraktif telah lama digunakan sebagai pilar ekonomi berbagai negara, termasuk Indonesia. Bertahun-tahun lamanya, industri ini bahkan menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan bakar bumi. Proses transisi energi tidak hanya sebatas menjamin ketersediaan energi terbarukan dengan kebutuhan yang ada, namun juga memastikan keberlanjutan industri sumber daya ekstraktif. Wawan menambahkan, strategi pengurangan emisi karbon dapat diupayakan melalui kebijakan pajak bagi industri SDA ekstraktif secara bertahap. Melalui cara ini, pelan-pelan penggunaan bahan bakar akan beralih menuju energi yang terbarukan.
Ketua Sekretariat Pusdatin Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Agus Cahyono Adi, menyebutkan industri ekstraktif seringkali kurang memiliki aspek pertanggung jawaban dalam melakukan eksploitasi SDA.
“Industri ekstraktif ini bukan hanya sekedar membuka lahan, mengambil barang, lalu ditinggal begitu saja. Kita juga perlu lihat bagaimana jika industri ini tidak ada. Undang-undang dasar kita menyampaikan bahwa mengingatkan pada kita semua sumber daya alam yang ada di bumi Indonesia ini harus digunakan sebagai modal dasar kepentingan masyarakat,” ucapnya.
Untuk memastikan adanya unsur kepentingan masyarakat, perlu dipaparkan keterbukaan terkait pengelolaan sumber daya ekstraktif. Berdasarkan Perpres No. 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah dari Industri Ekstraktif, negara memberikan penjelasan mengenai segala proses memastikan ketersediaan SDA, prosedur ekstraksi, hingga hasil olahan SDA esktraktif.
“Kami mengusahakan adanya peningkatan transparansi dalam proses memperbarui portal informasi dalam satu kanal. Apa yang sudah diusahakan, dan pendapatannya seperti apa, itu akan ada di sana. Tidak hanya sekedar usaha tambah, perusahaan di UU Migas itu ada satu klausul, setiap usaha pertambangan mereka juga mempunyai tanggung jawab untuk memberdayakan ekonomi di sekitarnya. Sehingga, industri ekstraktif ini bisa benar-benar harmonis dengan lingkungan,” tambah Agus.
Penulis: Tasya