
Peran ayah sangat penting dalam perjalanan tumbuh kembang anak, terutama anak di bawah usia remaja. Keterlibatan mereka sangat dibutuhkan dalam persiapan mental anak agar-anak bisa memiliki kondisi emosional yang stabil. Sayangnya, tidak semua anak memiliki figur ayah yang baik. Kondisi ini kerap disebut dengan fatherless. Lantas, bagaimana cara anak memulihkan diri dari situasi ini dari sudut pandang psikologi?
Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Diana Setiyawati, S.Psi., MHSc., Ph.D., mengatakan figur ayah yang absen dalam keluarga cukup berdampak terhadap tumbuh kembang anak dari sisi kesehatan mental. Menurut Diana, anak-anak fatherless tidak sama kondisinya dengan anak-anak yatim yang ayahnya telah meninggal dunia. Fatherless didefinisikan sebagai sosok ayah yang tidak hadir dalam hidup anak, sekalipun sang ayah masih hidup dan sehat. Secara umum, ketidakhadiran ayah dapat mempengaruhi rasa percaya diri anak dan cara berpikir mereka, terutama mengenai diri sendiri.“Yang paling banyak terjadi akibat absennya ayah dari keluarga adalah keraguan terhadap diri dan penghargaan diri sehingga anak-anak juga akan merasa kosong jiwanya,” ujar Diana dalam mengisi Safari di Bulan Ramadhan di Masjid Kampus UGM yang bertajuk “Memulihkan Kesehatan Mental Anak-Anak Fatherless”, Kamis (20/3) lalu.
Diana menuturkan ayah yang absen dalam kehidupan keluarga, bahkan sejak dalam fase kehamilan, akan berpengaruh terhadap calon bayi yang dikandung oleh sang ibu. Ia menjelaskan bahwa ketika sang ibu mengalami stres, terutama akibat minimnya kontribusi ayah dalam kehamilan, hormon kortisol akan naik. Hormon ini bersifat korosif dan berpotensi merusak sistem otak janin.“Dampaknya ialah kapasitas belajar anak berkurang karena adanya perubahan di otak bagian amigdala,” ungkap Diana.
Selain itu, hilangnya peran ayah dapat menyebabkan anak memiliki self esteem atau pengakuan harga diri yang tidak berkembang dengan baik. Ia akan mengalami kesulitan dalam penghargaan diri dan regulasi emosi. Diana juga menyebutkan bahwa anak-anak yang kehilangan figur ayah rentan menjadi korban kekerasan seksual. “Mereka tidak memiliki sosok yang menjadi sandaran sehingga mereka mencari rasa kasih dan sayang dari orang lain yang tidak aman dan bisa berbahaya bagi dirinya,”ujarnya.
Diana menyebutkan keterlibatan figur seorang ayah dalam aktivitas anak dapat menjadi kegiatan yang menstimulasi perkembangan kognitif anak, sejak baru lahir sampai anak beranjak dewasa. “Sosok yang hadir dalam tahap ini akan membantu anak memiliki kapasitas belajar yang luas,” ungkapnya.
Selain itu, keterlibatan ayah juga berpengaruh terhadap perkembangan prefrontal cortex. Apabila korteks ini tidak berkembang dengan baik, itu akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, dan membuat anak menjadi egosentris dan perfeksionis.
Lebih lanjut, Diana berbagi tips untuk ‘mengobati’ anak yang kehilangan sosok ayahnya. Ia menyarankan untuk menjalin hubungan, baik itu keluarga, teman, maupun pasangan, dengan orang-orang yang berasal dari keluarga yang aman (secure). “Dalam hal ini, seseorang dengan emosi yang stabil dapat membantu anak fatherless dalam memperkuat resiliensi,” terangnya.
Cinta dan kasih sayang tanpa syarat dari orang terdekat dapat menumbuhkan keyakinan dan rasa percaya diri anak fatherless.“Mereka harus bersama orang-orang yang meyakinkan bahwa ia berharga dan layak untuk dicintai,” pungkas Diana.
Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik