
Di tengah derasnya arus informasi digital, masyarakat Indonesia kini menghadapi tantangan baru dalam menjaga stabilitas emosional dan kesehatan mental. Belakangan ini, gelombang berita terkait kebijakan kontroversial pemerintah, pembubaran demonstrasi secara paksa, teror terhadap jurnalis, bergejolaknya bursa saham, serta korupsi yang melibatkan pejabat tinggi telah memunculkan rasa frustasi, ketidakpastian, dan keputusasaan di tengah masyarakat. Publik merasa tidak aman dan bahkan kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Situasi ini bukan hanya menciptakan keresahan sosial, tetapi juga menyentuh ranah psikologis individu secara mendalam.
Psikolog Klinis, Pamela Andari Priyudha, M.Psi., Psikolog menekankan bahwa paparan terhadap berita-berita buruk secara terus-menerus dapat menyebabkan seseorang mengalami ketegangan psikologis yang kronis dan kolektif. “Ketika seseorang merasa tidak berdaya, mereka bisa mengalami learned helplessness yaitu kondisi di mana merasa tidak mampu mengubah situasi meskipun sebenarnya ada peluang. Ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan apatisme, frustasi, dan depresi secara kolektif,” jelas Pamela, Rabu (9/4).
Ia pun menyoroti pentingnya literasi digital, yaitu kemampuan untuk mencari, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis dan etis. Hal ini dikarenakan banyak orang terjebak dalam kesimpulan yang prematur hanya dengan membaca judul atau komentar tanpa menelusuri informasi secara utuh. Menurutnya, media sosial memang memiliki peran besar dalam membentuk persepsi publik. Namun sayangnya, informasi yang beredar tidak selalu benar. Saat tubuh terus merasa waspada karena paparan berita buruk, kecemasan akan meningkat. Ini adalah bentuk alarm tubuh yang bisa menjadi maladaptif jika tidak dikendalikan.
Pamela menyampaikan terdapat sejumlah kelompok masyarakat yang dinilai lebih rentan terhadap dampak negatif dari paparan berita buruk, seperti orang tua dan lansia, remaja dan anak muda yang terlalu banyak mengonsumsi media sosial, serta orang-orang dengan tingkat literasi digital yang rendah dan akses informasi kredibel yang terbatas. Ia juga menekankan bahwa kemampuan seseorang dalam meregulasi atau mengelola emosi sangat berperan penting dalam menentukan seberapa besar dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh berita buruk terhadap kesehatan mental mereka. “Saya kira penting bagi individu, institusi pendidikan, serta komunitas sosial untuk secara aktif memberikan edukasi yang berkelanjutan mengenai literasi digital dan keterampilan pengelolaan emosi, guna membentuk masyarakat yang lebih resilien dan siap secara psikologis dalam menghadapi tekanan informasi di era digital yang serba cepat ini,” tuturnya.
Ia berujar salah satu strategi yang dapat diterapkan untuk menjaga kesehatan mental di tengah paparan berita negatif yang masif adalah dengan secara sadar membatasi konsumsi informasi yang bersifat memicu kecemasan, terutama ketika individu berada dalam kondisi psikologis yang kurang stabil. Selain itu, penting untuk membangun kebiasaan mencari informasi pembanding dari berbagai sumber yang kredibel guna mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif dan seimbang. Pamela menyarankan agar masyarakat tidak langsung bereaksi terhadap informasi yang belum terverifikasi. “Penting untuk mengedepankan logika dan bersikap objektif. Selalu cari tahu dari berbagai sumber, jangan hanya mengandalkan satu sudut pandang,” tekannya.
Menghindari topik-topik yang secara emosional mengganggu, seperti konflik politik atau isu sosial yang memancing reaksi emosional berlebihan, juga dapat menjadi langkah preventif. Di sisi lain, individu disarankan untuk secara aktif mengonsumsi konten-konten yang bersifat positif, inspiratif, atau membangun, guna membantu menjaga suasana hati tetap stabil dan mendorong pola pikir yang lebih optimis dalam menghadapi dinamika kehidupan sehari-hari. Salah satu teknik psikologis yang bisa diterapkan untuk tetap optimis adalah dengan self-control atau kontrol diri. “Kita harus menyadari batasan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang berada di luar kendali kita. Fokus pada peran dan tanggung jawab yang bisa dijalankan akan membantu menjaga semangat dan rasa optimisme,” ucap Pamela.
Dalam upaya menjaga kesehatan mental di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan penuh tekanan, memberikan dukungan emosional kepada orang-orang terdekat yang sedang mengalami kecemasan menjadi langkah yang sangat penting dan bermakna. Salah satu bentuk dukungan yang paling mendasar namun efektif adalah dengan hadir sebagai pendengar yang baik, yaitu mendengarkan keluhan, kecemasan, dan keresahan tanpa memberikan penilaian atau respons yang menghakimi. Pamela yang juga berperan sebagai staf pengajar di Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM ini menekankan pentingnya pendekatan yang empatik dalam situasi ini. “Sadari, mungkin mereka butuh didengarkan dan dipahami tanpa diberikan penilaian atau non-judgemental atas keresahan-kerasahan yang muncul akibat banjirnya berita negatif yang diterima,” ujarnya.
Namun, sebelum kita terjun membantu orang lain, penting pula untuk mengenali dan memahami kondisi psikologis kita sendiri. Kesadaran ini penting untuk mencegah kelelahan emosional (emotional burnout) pada pihak yang memberi bantuan. Bahkan, dalam banyak kasus, menjadi penghubung antara individu yang mengalami tekanan mental dengan tenaga profesional yang kompeten merupakan kontribusi yang sangat berarti dalam menjaga kesehatan mental secara kolektif. Hal ini mencerminkan bahwa membantu tidak selalu berarti menyelesaikan masalah secara langsung, tetapi juga bisa berupa tindakan sederhana namun berdampak, seperti mengarahkan seseorang ke sumber pertolongan yang tepat. “Sebelum membantu, kita harus aware terhadap kondisi mental kita terlebih dahulu. Jika dirasa tidak siap maka hubungkan dengan profesional seperti psikolog, psikiater atau konselor,” tambahnya.
Pamela pun menyoroti lembaga pendidikan tinggi yang memiliki peran peran strategis dan vital dalam membentuk ketahanan psikologis generasi muda, khususnya melalui upaya peningkatan literasi digital dan literasi kesehatan mental. Institusi pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar akademik semata, tetapi juga sebagai ruang yang mendukung perkembangan emosional dan sosial peserta didik. Di sisi lain, peran komunitas tidak kalah penting dalam mendukung terciptanya ekosistem informasi yang sehat dan konstruktif. Komunitas memiliki tanggung jawab moral untuk turut serta dalam membangun ruang publik yang bebas dari misinformasi, ujaran kebencian, dan konten yang bersifat provokatif. “Melalui kerja kolektif, komunitas dapat berkontribusi dalam memverifikasi keakuratan informasi yang beredar, menyebarkan konten yang berimbang antara berita positif dan negatif, serta menumbuhkan empati dan solidaritas antaranggota masyarakat,” pungkasnya.
Penulis: Triya Andriyani
Foto. : Freepik