Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama beserta UGM Press, CSCV dan UNU Yogyakarta meluncurkan buku prosiding G20 Religion Forum atau R20 “Proceedings of the R20 International Summit of Religious Leaders” di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM) pada Jumat (4/8). Buku prosiding R20 berisi 47 makalah dan memuat catatan reflektif serta kesepakatan bersama dari berbagai pemimpin agama sedunia atas keprihatinan munculnya konflik berlatar belakang sosial keagamaan yang merusak tatanan nilai peradaban manusia.
Prosiding R20 berisi kompilasi hasil kesepakatan dan gagasan para tokoh agama yang berpartisipasi langsung dalam kegiatan R20 di Bali yang dihelat pada awal November 2022 lalu. Buku prosiding R20 ini diterbitkan melalui UGM Press.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, dalam sambutannya mengatakan bahwa inisiatif R20 merupakan upaya untuk menjadikan sebagai sumber solusi dari dinamika global yang terjadi.
“Kami sedang mencari cara untuk terus menegakkan agama kami dan menjadikannya sebagai kontribusi bagi peradaban yang akan datang yang seluruh masyarakat kesusahan karena perang. Karena itulah terciptanya inisiatif R20 adalah menghentikan agama sebagai sumber masalah dan mulai menjadikannya sebagai sumber solusi,” katanya.
Menurut Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada (UGM), Ahmad Munjid, perhelatan forum R20 telah membuka cara pandang baru bahwa agama bukanlah bagian dari masalah melainkan bagian dari solusi.
“Dan kita tahu di ASEAN apa yang terjadi di Thailand, Myanmar, Filipina sangat meresahkan,” kata dia.
Ahmad Munjid menambahkan berdasarkan hasil survei salah satu lembaga di Swedia memperlihatkan kehidupan demokrasi sedang tidak baik-baik saja. Kehidupan demokrasi seluruh dunia di tahun 2022 tercatat sebanyak 60 persen penduduk dunia di bawah kekuasaan otoriter, dan kondisi tersebut semakin merosot karena ditahun 2023 sebanyak 73 persen penduduk dunia di bawah kepemimpinan otoriter.
Menurutnya, semua pihak patut mencermati di tahun depan karena akan ada tiga pemilu di tiga negara besar yang akan menentukan demokrasi. Pemilu di Indonesia, Amerika dan India yang melibatkan jumlah penduduk yang besar. Hasil Pemilu di tiga negara tersebut dinilai akan sangat menentukan apakah kehidupan demokrasi akan naik lagi atau malah justru makin merosot.
“Itu yang saya sebut demokrasi sedang tidak baik-baik saja . Apalagi dengan adanya perang dan sekarang banyak pemimpin-pemimpin dunia yang diangkat secara demoratis tetapi dia sesungguhnya orang yang sebetulnya tidak demokratis,” ucapnya.
Dia memberikan contoh seperti di Philipina, anak Presiden Marcos yang dulu diturunkan kini bisa berkuasa kembali. Marcos yang dahulu diturunkan dari kekuasaan karena korupsi atau otoriter, anaknya sekarang naik menjadi presiden. Bahkan Marcos yang dulu dianggap koruptor dan otoriter kini dianggap pemimpin hebat.
“Harus dicermati saat ini banyak pemimpin diangkat secara demokratis tetapi ia sesungguhnya tidak demokratis,” imbuhnya.
Sementara itu, Rektor UGM, Prof Ova Emilia, memberikan apresiasi kepada PBNU yang telah menggagas serangkaian forum dialog antaragama, terbaru bakal dihelat ASEAN IIDC. Menurutnya, keketuaan Indonesia dalam forum tersebut menunjukan bagaimana peran diplomasi agama mampu menciptakan perdamaian, stabilitas sosial, membangun dialog dan perdamaian antar bangsa.
“Saya sangat mengapresiasi inisiasi PBNU yang menjadi koordinator ASEAN IIDC dan berhasil mengundang keterlibatan 150 pemimpin agama di ASEAN termasuk di indonesia. Poin utama para cendikiawan tentu menjadi peran jalan bagi capaian nilai, menjembatani perbedaan, mendorong dialog antaragama, maupun program pemberdayaan manusia,” katanya.
Rektor berharap ide besar buku ini mampu menjadi rujukan pemimpin dunia terutama sebagai bahan pertimbangan mengambil kebijakan global.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto