Kasus korupsi di PT Timah, bagai fenomena gunung es dimana penyalahgunaan izin usaha pertambangan belum semuanya terkuat. Besar kemungkinan modus korupsi yang sama terjadi di perusahaan tambang lainnya. Namun begitu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam ini ditengarai belum sepenuhnya optimal karena masih lemahnya sistem pengawasan pemerintah hingga penegakan hukum yang cenderung pro pelaku bisnis.
Hal itu dikemukakan oleh Peneliti Pusat Kajian AntiKorupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yuris Rezha Kurniawan, menanggapi dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang kini ditangani oleh Kejaksaan Agung RI.
Dalam kasus dugaan korupsi PT. Timah, kata Yuris, Kejaksaan tengah mengejar kerugian keuangan dan perekonomian negara akibat pembelian pasokan timah yang tidak sesuai prosedur dengan harga diatas standar. “Jika merunut duduk perkara yang disampaikan Kejaksaan Agung, maka ada satu isu yang juga perlu disorot yaitu mengenai persekongkolan dengan melibatkan pebisnis tambang illegal,” kata Yuris, Selasa (2/4).
Bila dugaan kasus korupsi di PT. Timah ini akhirnya terbukti, ungkapnya, maka kejadian ini menjadi bukti telak adanya persekongkolan pemerintah melalui perusahaan negara dengan pengusaha korup. Pasalnya, perusahaan tambang ilegal seharusnya ditindak secara hukum malah justru sebaliknya dirangkul dan difasilitasi sedemikian rupa. Bahkan dijadikan rekanan untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam dengan cara melanggar hukum. “Anehnya, hal ini juga luput dari pengawasan pemerintah maupun aparat penegak hukum,” tegasnya.
Menurut Yuris, secara umum ada beberapa modus yang sering terjadi pada kasus korupsi sumber daya alam. Seperti misalnya suap untuk meloloskan pemberian izin yang tidak layak, hingga kekurangan penerimaan negara yang disetor akibat manipulasi data produksi sumber daya alam.
Dugaan kasus korupsi PT. Timah ini di mata publik, kata Yuris, mempertontonkan bagaimana praktik tambang ilegal yang seharusnya menjadi bagian dari pengawasan pemerintah dan penegakan hukum dari aparat justru mendapat ‘karpet merah’ untuk menjalankan bisnisnya. “Faktor sulitnya pemberantasan korupsi di sektor sumber daya alam diantaranya adalah lemahnya sistem pengawasan pemerintah hingga penegakan hukum yang cenderung pro bisnis,” jelasnya.
Ada hal yang menimbulkan pertanyaan bagi Yuris, bagaimana mungkin jika usaha tambang ilegal, yang tentu jelas sudah melanggar hukum malah difasilitasi sebagai rekanan? Menurutnya, Kejaksaan tentu bisa menelusuri lebih lanjut lemahnya pengawasan hingga kemungkinan adanya pembiaran terhadap operasi tambang ilegal ini. Apalagi misalnya praktik seperti ini terjadi selama bertahun-tahun. “Apabila terdapat bukti adanya pembiaran, apalagi misalnya sampai dapat dibuktikan adanya suap untuk menutup mata terhadap praktik ilegal tersebut maka bukan tidak mungkin akan ada aktor lain yang bisa dijerat dari pengembangan perkara kasus ini,” ujarnya.
Ia berpendapat, kasus korupsi di tubuh PT. Timah ini untuk kesekian kalinya terjadi kasus korupsi di sektor pertambangan. Oleh karena itu, pemerintah harus punya komitmen kuat untuk mengupayakan berbagai cara pencegahan. Sebab, korupsi sumber daya alam tidak akan selesai hanya dengan mengembangkan sistem untuk kemudahaan berbisnis. “Tapi juga perlu diperketat perihal pengawasan, pengelolaan konflik kepentingan yang berkelindan antara pejabat atau menteri dengan perusahaan di sektor sumber daya alam, serta penegakan hukum yang independen dari pengaruh bisnis,” pungkasnya.
Penulis: Gusti Grehenson
Foto: Investor.id