Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) mengungkapkan adanya kekhawatiran terhadap arah pemberantasan korupsi pada pemerintahan baru yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming. Meski ada semangat yang meyakinkan dalam pidato-pidato politik terkait pemberantasan korupsi, mereka menilai bahwa janji-janji tersebut belum diikuti dengan kebijakan konkret yang dapat diandalkan untuk menangani masalah korupsi.
Ketua Pukat FH UGM, Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M., menyampaikan bahwa mereka telah mencatat hilangnya independensi KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), yang menjadikan lembaga antikorupsi ini disebut semakin problematik. “KPK kini tidak lagi berada di puncak independensinya, dan ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stagnasi dalam upaya pemberantasan korupsi,” ungkapnya dalam kegiatan Jumpa Pers pada Jumat (8/11) di Ruang Pusat Kajian, Gedung IV, Fakultas Hukum UGM.
Totok menerangkan, Pukat FH UGM mencatat bahwa dalam visi dan misi pasangan Prabowo-Gibran, pasangan ini mencantumkan pemberantasan korupsi sebagai bagian dari salah satu dari delapan “Asta Cita” dan 17 program prioritas. Namun, Pukat menilai bahwa visi ini masih tercampur dengan isu pemberantasan narkoba, sehingga mereka menganggap pemerintahan ini masih kurang fokus pada penanganan masalah korupsi yang sangat kompleks di Indonesia.
Salah satu poin yang disoroti adalah pernyataan Prabowo mengenai dukungan terhadap penguatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan memberikan sumber daya yang memadai. Pukat mengakui bahwa peningkatan anggaran untuk KPK sangat penting, mengingat anggaran lembaga ini selama ini masih terbatas. Namun, mereka menekankan bahwa masalah utama KPK bukan hanya soal anggaran, melainkan mengenai independensi lembaga tersebut. “Tidak ada penegasan mengenai bagaimana KPK akan diberdayakan kembali untuk menjalankan fungsinya secara independen. Ini menjadi masalah serius karena KPK masih berada di bawah pengaruh eksekutif,” ucap Totok.
Zaenur Rohman, anggota Peneliti Pukat FH UGM, turut menyampaikan data bahwa Indonesia telah mengalami stagnasi dalam peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) selama satu dekade terakhir dalam pemerintahan sebelumnya. Berdasarkan data dari Transparency International, skor IPK Indonesia pada 2014 adalah 34 per 100, yang sama dengan angka yang tercatat pada 2023. “Dalam 10 tahun terakhir, meskipun ada naik turun, namun terjadi penurunan signifikan dari 38 menjadi 34, yang mencerminkan tidak ada kemajuan berarti dalam pemberantasan korupsi,” ujar Zaenur.
Zaenur menernagkan bahwa pasangan Prabowo-Gibran, meski telah menyampaikan janji-janji besar terkait pemberantasan korupsi, namun ia mencatat bahwa pemerintahan yang baru ini tidak menawarkan solusi konkret untuk isu-isu besar, seperti pembahasan RUU Perampasan Aset yang sampai saat ini belum mendapatkan perhatian serius dari DPR. “Retorika anti-korupsi sangat kuat, namun tidak ada penjabaran lebih lanjut tentang bagaimana janji tersebut akan diwujudkan. Kami masih menunggu langkah-langkah nyata, bukan hanya pidato yang bersifat retorika,” katanya.
Pukat juga mengingatkan bahwa dalam pidatonya, Prabowo memberikan peringatan kepada partai-partai yang bergabung dalam koalisi pemerintahannya untuk tidak menugaskan calon menteri yang mencari keuntungan dari anggaran negara (APBN/APBD). Meskipun ini adalah langkah positif, Pukat menilai bahwa tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai konsekuensi bagi partai-partai yang kadernya terbukti terlibat dalam korupsi. “Ini penting karena tanpa adanya aturan yang jelas tentang sanksi bagi partai-partai yang terlibat dalam praktik korupsi, pesan tersebut bisa jadi tidak lebih dari sekadar peringatan tanpa dampak nyata,” ujar Zaenur.
Melihat kekurangan-kekurangan dalam janji pemberantasan korupsi Prabowo-Gibran, Pukat FH UGM memberikan beberapa rekomendasi strategis sebagai upaya untuk mewujudkan pemberantasan korupsi yang lebih efektif selama pemerintahan ini. Salah satunya adalah Pukat menekankan perlunya membangun sinergi antara KPK dan lembaga-lembaga terkait dalam pencegahan korupsi, seperti pendidikan antikorupsi perlu dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan untuk membentuk kesadaran sejak dini.
Pukat juga mendesak agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Undang-undang ini diharapkan dapat memperkuat upaya pemberantasan korupsi dengan mempermudah proses perampasan aset yang berasal dari tindak pidana korupsi, tidak hanya terbatas pada terdakwa yang melarikan diri atau meninggal dunia. “Kami juga mengingatkan pentingnya reformasi dalam tubuh aparat penegak hukum yang melibatkan Kepolisian, Kejaksaan, serta Mahkamah Agung. Reformasi ini harus mencakup perbaikan struktural dan pemberian kewenangan yang lebih besar untuk lembaga-lembaga ini dalam memberantas korupsi secara sistematis,” ujarnya.
Jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah dalam komitmen upaya pemberantasan korupsi, Zaenur menduga bahwa kedepannya lima tahun kepemimpinan Prabowo situasi pemberantasan korupsi tidak akan jauh berbeda dengan 10 tahun ke belakang. Maka dari itu, Pukat berharap agar pemerintah yang baru dapat segera melaksanakan langkah-langkah konkret untuk mengatasi masalah korupsi yang telah lama membelenggu Indonesia. “Tanpa kebijakan yang jelas, pemberantasan korupsi akan tetap menjadi tantangan besar bagi bangsa ini,” pungkasnya.
Penulis : Lintang
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie