Sebanyak 88 mahasiswa yang terdiri dari 43 mahasiswa UGM dan 45 mahasiswa asing mengikuti Summer Course kedokteran presisi yang diselenggarakan oleh UGM pada 6- hingga 17 November mendatang di kampus UGM. Dipilihnya tema summer course tentang kedokteran presisi untuk diperkenalkan kepada calon tenaga kesehatan tentang pentingnya pengobatan pasien dengan menggunakan data spesifik pasien termasuk informasi genetik dan faktor gaya hidup sehingga bisa mengidentifikasi risiko penyakit, memprediksi hasil pengobatan dan mengembangkan terapi target.
Selain belajar di kelas, para peserta summer course juga diajak melihat langsung praktik pelayanan kesehatan di puskesmas dan pemeriksaan kesehatan siswa siswa sekolah dasar hingga pelayanan kesehatan lansia di kecamatan Mlati, Sleman.
Beberapa mahasiswa peserta summer course yang berasal dari Belanda, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina, dan Myanmar ini juga diajak berinteraksi langsung dengan tenaga kesehatan dan ikut memberikan penyuluhan kesehatan gigi di SD Cebongan serta menyaksikan langsung rehabilitasi pasien gangguan jiwa dengan riwayat penyakit kambuhan di Puskesmas Mlati 2.
Psikolog Puskesmas Mlati 2 Sleman, Berta Devi Aryani, mengatakan di tiga kelurahan yang ada di sekitar area puskesmas terdapat 102 pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sehingga perlu mendapat rehabilitasi dan perawatan yang intensif melibatkan tenaga kesehatan, pemerintah dan dukungan dari pihak keluarga pasien. “Kita selalu rutin memberikan edukasi menyadarkan keluarga pentingnya kesehatan jiwa, selain ada penyuluhan juga dilakukan family gathering agar ada dukungan dari keluarga seperti apa,” ujarnya.
Untuk para ODGJ pasien yang sudah hampir sembuh, kata Aryani, mereka terus dipantau untuk setiap minggu diundang datang ke puskesmas untuk melakukan berbagai aktivitas kegiatan seperti berkebun hingga melukis telur dan melukis gerabah keramik. “Aktivitas ini melatih emosi mereka saat lagi kesal dan jengkel. Kasihan mereka jika harus konsumsi obat terus. Di sini mereka bisa ikut mewarnai dan menggambar. Menggambar telur asin dan hasilnya dijual ke konsumen dan mereka dapat uang,” kata Aryani seraya menyebutkan dua orang pasiennya yang berasal dari Kelurahan Tirtoadi yang rutin datang setiap pekan ke Puskesmas.
Joost Keijer dari VU University Medical Center (VUMC) Amsterdam, mengaku sangat senang diajak berinteraksi saat memberikan penyuluhan kesehatan ke siswa di sekolah dan berinteraksi langsung dengan tenaga kesehatan di puskesmas. “Kami merasa senang karena bisa bisa bertukar pikiran apa yang penting untuk kami adopsi sistem kesehatan ke depan. Saat bisa bertemu dan berinteraksi langsung dengan masyarakat dan bertemu dengan pasien ODGJ di Puskesmas jadi pengalaman baru kami,” ujarnya.
Menurutnya, pelayanan kesehatan di Indonesia berbeda jauh dengan apa yang ia lihat di negaranya Belanda karena penyuluhan kesehatan melibatkan tenaga kader kesehatan mengingat luasnya wilayah Indonesia dan kondisi masyarakat yang beragam. “Berbeda dengan di Belanda tidak ada posyandu dan Puskesmas. Saya lihat di Indonesia sangat memerlukan tenaga kesehatan dengan jumlah banyak untuk melayani masyarakat,” katanya.
Hal senada juga disampaikan Kim Schipper, salah satu mahasiswi VUMC Amsterdam, Belanda, lainnya yang mengaku antusias berinteraksi dengan anak-anak sekolah dasar soal pentingnya memelihara kesehatan gigi dan mulut dan menyaksikan kegiatan vaksinasi di kelas yang dilakukan oleh petugas puskesmas.
Sementara Maizatul Shariza dari Universitas Putra Malaysia merasa terkesan dengan kegiatan pelayanan kesehatan di lapangan yang menurutnya sangat erat dengan apa yang ia pelajari di kampus. “Saya mahasiswa prodi gizi kesehatan, apa yang saya belajar selama ini ternyata bisa memberi manfaat. Seperti membuat skrining dan program cegah stunting, kelas ibu hamil apalagi ada program yoga untuk ibu hamil. Saya dapat ide baru untuk mengatakan anak anak untuk menjaga kebersihan gigi,” ujarnya.
Ketua Tim Internasionalisasi Akademik, Prof. dr. Gunadi, Ph.D., menuturkan kegiatan summer course yang melibatkan mahasiswa asing ini bagian dari upaya pencapain program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs terutama dalam peningkatan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. “Kegiatan ini erat kaitannya dalam SDGs terkait pelayanan masyarakat dan sekarang pendidikan tidak lagi pada evidence based berdasarkan pada kedokteran presisi dengan profil genomik sehingga perlakuannya juga berbeda. Calon tenaga kesehatan tidak bisa berjalan sendiri tapi lebih tapi ada kedokteran presisi, mengikuti data genomik pasien,” katanya.
Penulis : Gusti Grehenson